Omongan tetangga, meski terkadang terdengar sepele, dapat memiliki dampak yang mendalam pada kesejahteraan psikologis seseorang. Pengalaman seorang teman saya memberikan gambaran nyata tentang bagaimana omongan tetangga bisa membawa dampak ekstrem hingga memaksa seseorang untuk pindah rumah.
Teman
saya diterima di kampus yang sama dengan saya, meskipun jurusan yang berbeda.
Di awal perkuliahan, ospek jurusan (osjur) menjadi salah satu momen yang
menentukan. Di kampus kami, osjur dilakukan pada tingkat dua, setelah mahasiswa
masuk ke jurusan masing-masing. Dan kegiatannya menuntut mahasiswa untuk pulang
malam.
Kami diajarkan untuk saling menjaga antara teman
seangkatan. Apalagi di Bandung ketika itu cukup rawan geng motor dan begal di
malam hari. Jadi teman yang biasa berjalan kaki atau naik kendaraan umum akan
diantar oleh teman yang bawa kendaraan.
Teman perempuan saya sering diantar pulang oleh teman
seangkatannya, yang kebetulan laki-laki. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya
saling menjaga antar-mahasiswa. Namun, omongan tetangga tidak mengindahkan niat
baik ini. Gosip mulai menyebar bahwa teman saya bekerja tidak benar karena
sering pulang malam dan diantar oleh laki-laki yang berbeda setiap hari.
Awalnya, teman saya bersabar dan mencoba menjelaskan
keadaannya. Namun, gosip terus berkembang, menyimpang dari kenyataan.
Ketidaknyamanan yang dirasakannya akhirnya membuatnya memutuskan untuk pindah
rumah. Dalam keputusan tersebut, kesehatan mental menjadi prioritas utama.
Cerita
ini mengajarkan kita pentingnya menjaga perkataan dan tidak menuduh tanpa bukti
yang jelas. Komunikasi yang terbuka dan pemahaman antar-tetangga dapat mencegah
konsekuensi negatif yang dapat merusak kesejahteraan psikologis seseorang. Sebagai tetangga, kita juga perlu
menjaga lisan agar tidak menyakitkan. Dengan demikian, kita dapat
menciptakan lingkungan tempat tinggal yang nyaman dan harmonis bagi semua
anggota komunitas.
Komentar
Posting Komentar