Tengoklah
seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta, Budi, yang memulai paginya dengan
alarm berdering, berkejaran dengan waktu, menyelam ke dalam rutinitas harian
yang tak pernah berakhir. Ia
terjebak dalam pertarungan melawan waktu, mengatasi tantangan dan tekanan yang
tiada henti. Setibanya di rumah, ia bukan lagi seorang manajer, tetapi seorang
suami dan ayah yang harus membantu menyelesaikan PR anak-anaknya dan
menyempatkan waktu berkualitas bersama keluarga. Malamnya, dengan mata yang
mulai berat, ia mencurahkan sisa energinya untuk mempersiapkan presentasi esok
hari dan menyisihkan waktu satu jam untuk kursus MBA (Master of Business Administration) online, sebuah upaya untuk
menaikkan level keilmuannya.
Kita hidup di era yang serba cepat, di mana garis pemisah
antara pekerjaan dan kehidupan pribadi kerap kali samar. Ada yang bekerja di
rumah, juga ada yang bekerja
di kantor. Namun
banyak yang merasa bahwa kedua peran
tersebut sulit dipisahkan. Di sinilah muncul konsep Third Place (Tempat Ketiga), sebuah konsep yang mendefinisikan
ruang transisi antara dunia kerja dan kehidupan rumah tangga. Tempat ini merupakan tempat untuk menyembuhkan
dan memulihkan pikiran dari satu peran ke peran berikutnya.
Dr. Adam Fraser, seorang peneliti performa manusia (human performance),
memperkenalkan konsep Third Place sebagai ruang untuk seseorang bisa “berpindah” dari peran kerja ke peran rumah, atau
sebaliknya. Contoh dari Third Place
ini bisa beragam. Bagi sebagian orang, konsep bisa berupa gym, tempat mereka menghabiskan waktu untuk
berolahraga dan menyegarkan pikiran sebelum pulang ke rumah. Bagi sebagian yang lain, tempat ini kafe di mana
mereka bisa bersantai sejenak sambil menyeruput kopi atau ruang baca di
perpustakaan tempat mereka menenangkan pikiran.
Sebagai
mahasiswa yang bekesempatan tinggal di Taiwan selama beberapa lama, saya melilhat
perbedaan yang cukup mencolok antara Indonesia dan Taiwan terkait dengan
Tempat Ketiga. Taiwan,
dengan perkembangan urbanisasi yang pesat, telah berhasil menyisipkan banyak
ruang publik terbuka yang dapat dijadikan sebagai Third Place. Di
kota-kota besar seperti Taipei, taman-taman kota, museum, dan ruang publik lainnya dengan
mudah ditemukan. Tempat-tempat tersebut menjadi jembatan yang memudahkan
transisi dari kerja ke rumah dan sebaliknya.
Misalnya,
di dekat asrama saya di New Taipei City ada sebuah taman publik yang cukup luas.
Pohon-pohonnya rindang. Ada kolam dan air mancur. Juga dilengkapi dengan
perpustakaan nasional. Sebagai mahasiswa di kampus, beban materi yang harus
dipelajari cukup berat. Kalau pulang ke asrama, saya juga harus berperan
sebagai santri asrama yang memiliki beberapa tanggung jawab. Jadi terkadang
sebelum sampai di asrama, saya berhenti
sejenak di taman untuk mengatur mood dan menyiapkan untuk peran
berikutnya.
Taman Yonghe dan Perpustakaan Umum (Gedung Biru)
Sementara di Indonesia, konsep Third Place nampaknya belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam desain
perkotaan. Meskipun di kota-kota besar seperti Jakarta atau Bandung terdapat banyak kafe dan mal,
namun ruang publik terbuka yang dapat diakses oleh semua kalangan masih
terbatas. Padatnya penduduk dan pembangunan yang berpusat pada komersial membuat
ruang-ruang seperti ini kurang tersedia.
Namun, bukan berarti Indonesia tidak bisa belajar dari
Taiwan. Ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah daerah atau
komunitas lokal untuk meningkatkan kualitas dan ketersediaan Tempat Ketiga di daerahnya:
- Prioritaskan Ruang
Publik Terbuka: Dalam perencanaan tata kota dan pembangunan, pemerintah
dapat mengalokasikan tanah atau ruang untuk pembuatan taman kota,
lapangan, atau ruang publik lainnya yang bisa diakses oleh masyarakat
umum.
- Pelibatan Komunitas:
Mendorong partisipasi masyarakat dalam merancang dan merawat Tempat Ketiga.
Dengan melibatkan komunitas, ruang tersebut akan lebih relevan dengan
kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat. Masyarakat juga akan lebih memiliki rasa
kepemilikan dalam menjaga dan merawat fasilitas publiknya.
- Desain Inklusif:
Membuat Third Place yang inklusif dan dapat diakses oleh semua
kalangan masyarakat, termasuk anak-anak, lansia, dan penyandang
disabilitas. Misalnya
dengan menyediakan ramp, akses toilet difabel, dan papan petunjuk
dengan tulisan braile.
- Kolaborasi dengan Sektor
Swasta: Pemerintah bisa bekerja sama dengan sektor swasta untuk
menciptakan Third Place. Dengan begitu, beban biaya tidak perlu ditanggung sepenuhnya oleh
pemerintah dan dapat ditanggung pihak lainnya. Sebagai contoh,
kolaborasi antara pemerintah dengan pengelola mal untuk menyediakan ruang
terbuka di area mal.
Konsep
Third Place adalah hal yang esensial dalam menjembatani dunia kerja dan
kehidupan rumah tangga. Dengan adanya Tempat Ketiga, transisi antara kedua
dunia tersebut bisa berjalan lebih lancar. Indonesia masih memiliki banyak
peluang untuk mengembangkan dan memaksimalkan potensi Third Place. Dengan belajar dari
negara-negara seperti Taiwan, kita bisa menciptakan lingkungan urban yang lebih
seimbang dan mendukung kesejahteraan masyarakat.
Bibliography
Fraser, A. (2012). The Third Space: Using Life's Little Transitions to Find Balance and Happiness. Australia: Random House.
Komentar
Posting Komentar