Bagaimana rasanya sekolah sambil mengurus pertanian, perkebunan dan peternakan?
Gin
no Saji (Silver
Spoon) mengisahkan
kehidupan seorang siswa SMA yang bernama Hachiken. Setelah mengalami kegagalan
dalam ujian masuk SMA favoritnya, ia memilih untuk bersekolah di sebuah SMA
agrikultur yang terletak di
prefektur Hokkaido,
Jepang.
Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Setiap siswanya tidak
hanya diajarkan materi pelajaran umum semata, tetapi juga diberikan pelatihan
praktis dalam bidang pertanian dan peternakan. Seluruh siswa tinggal di asrama
dan memiliki rutinitas harian yang menarik, mulai dari mengumpulkan telur ayam
di pagi hari, menyemai tanaman, hingga merawat hewan ternak. Pengalaman belajar seperti
inilah yang memungkinkan para siswa untuk memahami dunia pertanian dengan lebih
mendalam dan siap mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Sekolah yang Punya Fasilitas Peternakan Sendiri |
Untuk mendukung aktivitas-aktivitas tersebut, sekolah ini memiliki berbagai fasilitas. Mulai dari kandang hewan ternak, lahan perkebunan dan pertanian, fasilitas pengolahan dan produksi, hingga gudang tempat penyimpanan. Dengan beragam gedung dan fasilitas membuat sekolah ini menjadi yang paling luas di Jepang.
Kurikulum yang diajarkan di SMA tersebut berbeda dengan sekolah biasa. Pelajarannya lebih fokus tentang agrikultur. Misalnya pelajaran Matematika dan Fisika dipilih materi fundamental yang dibutuhkan untuk pertanian dan peternakan. Materi seperti teori relativitas belum diajarkan di kelas. Sebaliknya, mata pelajaran Biologi banyak memuat topik lanjutan seperti kloning, pemetaan gen, dan epidemologi. Bahkan ada mata pelajaran Agribisnis yang spesifik membahas bisnis di bidang pertanian dan peternakan. Terdapat juga tambahan bobot pengetahuan tentang hukum agraria dan riset-riset terbaru di bidang agrikultur.
Salah satu hal yang menarik adalah anime ini mengangkat sudut pandang Hachiken sebagai siswa yang awam akan dunia agrikultur. Sementara teman sekelasnya datang dari keluarga petani, mengurus peternakan, atau bahkan anak dari dokter hewan, Hachiken merupkan anak dari karyawan swasta biasa. Ia awalnya merasa jijik setelah tahu bahwa telur ayam keluar dengan lubang yang sama dengan kotoran. Ia juga sempat merasa galau saat babi yang dirawatnya sejak kecil hingga dewasa harus diolah menjadi beacon. Hal-hal ini mungkin biasa bagi para siswa yang sehari-hari berhurusan dengan peternakan. Namun, bagi bocah kota seperti Hachiken, pengalaman tersebut sempat membuatnya syok.
Ketika pertama kali membaca manga ini, saya teringat akan Mynor Estrada, teman sekelas yang pernah kuliah di Zamorano University,
Guatemala. Universitas ini merupakan
salah satu kampus berbasis agrikultur terbaik di Amerika Latin.
Kurikulumnya tidak hanya mencangkup materi di kelas. Namun, praktikumnya
melibatkan langsung mahasiswa dalam pengholahan susu dan keju, pemotongan dan penyimpanan
daging, penanaman dan pemanenan buah dan sayur, hingga pengembangbiakan hewan
ternak.
Mengumpulkan Telur di Pagi Hari |
Meski terpisah jarak dan budaya, ternyata rutinitas yang
dijalani oleh teman saya di universitas tersebut cukup mirip dengan apa yang
diceritakan di Gin no Saji. Mereka sama-sama memulai kegiatan pukul 5 pagi. Kemudian para mahasiswa
mengurus kebun dan ternaknya sesuai tanggung jawab masing-masing. Berikutnya
mereka sarapan, dan bersiap untuk mulai belajar di kelas.
Setelah selesai
kuliah di sore hari, mahasiswa bisa melakukan kegiatan ekstrakulikuler sesuai
pilihannya, Ada juga tanggung jawab yang lain seperti melakukan pengolahan
produk hewani dan nabati di pabrik, mengurus peternakan, serta merawat perlatan. Mahasiswa juga terlibat
dalam hubungan dengan pemasok dan penyalur produk yang dihasilkan dari industri kampus.
Area Kampus Zamorano University. Sumber: UNESCOSOST |
Mahasiswa tidak hanya dipersiapkan untuk menjadi "semut pekerja" di industri. Selama kuliah mereka juga dibekali dengan kemampuan yang dapat mendukung untuk memulai wirausaha, hingga untuk membuat kebijakan publik ketika menjabat di pemerintahan kelak. Makanya mahasiswanya tidak hanya dari Guatemala saja, melainkan dari negara-negara Amerika Latin lainnya serta Amerika Serikat.
Sebuah pertanyaan pun muncul dalam benak saya,
"Bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita memiliki sekolah dengan konsep
serupa?" Nusantara dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan sumber
daya alam yang melimpah. Namun, ironisnya, belum banyak ditemukan sekolah yang
benar-benar mengajarkan pertanian dan peternakan dengan pendekatan praktis
seperti di Gin no Saji atau Zamorano University.
Santap Malam yang Segar Karena Langsung dari Sumbernya |
Memang, di Indonesia sudah banyak sekolah alam dan sekolah asrama
dengan basis keagamaan. Namun, setahu
saya belum ada yang benar-benar berfokus pada pengajaran praktik
pertanian dan peternakan yang menyeluruh. Padahal, dengan potensi agraris yang
dimiliki, konsep sekolah seperti ini seharusnya bisa menjadi solusi dalam mempersiapkan
generasi muda yang kompeten di bidang pertanian.
Mengembangkan sekolah agrikultur di Indonesia tentunya
memerlukan perencanaan yang matang. Mulai dari pemilihan lokasi, kurikulum,
hingga pelatihan guru. Namun, jika berhasil diterapkan, sekolah ini tidak hanya
akan mencetak lulusan yang siap bekerja, tetapi juga mampu mengembangkan
inovasi di bidang pertanian dan peternakan.
Bayangkan jika generasi muda kita mampu memahami cara-cara
bertani yang ramah lingkungan, efisien, dan menghasilkan produk berkualitas
tinggi. Tentu ini akan memberikan dampak positif bagi perkembangan pertanian di
Indonesia. Ide
mengenai sekolah agrikultur ini sebenarnya bukan hal baru. Oleh karena itu, diperlukan
komitmen dan kerjasama dari berbagai pihak untuk mewujudkannya.
Komentar
Posting Komentar