Beater, sebuah istilah yang disematkan kepada Kirito, tokoh utama dalam anime Sword Art Online. Kata ini merupakan gabungan dari kata Beta Tester dan cheater. Beta Tester merujuk kepada pemain yang dapat mencoba game (gim) saat masih versi beta dan sebelum diluncurkan ke publik. Cheater mengacu kepada Kirito yang dianggap curang dalam bermain.
Anime yang sangat populer saat penayangannya
tahun 2014 lalu bercerita tenang seratus orang yang terperangkap dalam sebuah
gim, Sword Art Online (SAO). SAO merupakan gim berjenis Virtual
Reality Massively Multiplayer Online Role-Playing Game (VRMMORPG). Para
pemain masuk ke dunia virtual dengan menggunakan alat khusus yang berbentuk
helm. Kesadaran mereka ditransfer ke dalam avatar pada permainan. Latar
ceritanya adalah medieval fantasy (Eropa pada abad pertengahan dengan
sentuhan sihir).
Kirito, merupakan salah satu orang yang
terpilih sebagai pemain yang dapat mencoba gim terlebih dahulu. Ketika pemain
lain kesulitan melawan bos musuh, Kirito dengan mudah menaklukkannya. Ia sudah
pernah memainkan gim lebih awal jadi tahu pola serangan dan skill dari para
monster. Karena sudah tahu lebih dulu, di saat pemain lain baru memulai
permainan, Kirito dianggap curang oleh karakter lain.
Beta Tester and Cheater, Awal Mula Istilah Beater
Konsep mencoba produk sebelum dipasarkan ini sering
digunakan di beragam industri. Tak hanya produk digital seperti game, produk
manufaktur dan proses kimia pun menerapkan konsep ini. Bagian riset dan pengembangan
mengembangkan sebuah prototipe produk. Kemudian prototipe ini diuji ke pada
pengguna internal atau langsung ke target pasar. Masukan dan komentar tentang
purwarupa awal ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan produk.
Pada perusahaan start up, salah satu metode
pengembangan produk yang cukup populer adalah Lean Start Up yang
dikembangkan oleh Eric Ries pada tahun 2011. Hal yang membedakan metode ini
dengan pengembangan produk biasa adalah Minimum Valuable Product (MVP)
yang menjadi produk awal untuk diujikan. Produk yang dikembangkan tidak perlu
harus sempurna. Cukup memenuhi fitur-fitur dasar yang dapat digunakan oleh
konsumen. Dari evaluasi dan saran pengguna, barulah fitur-fitur lainnya dikembangkan.
Dengan begitu proses pengembangan produk bisa lebih cepat. Produk juga dapat
sampai ke pengguna akhir dengan waktu yang relatif lebih singkat.
Misalnya kita ingin mengembangkan aplikasi
untuk pemesanan sebuah jasa binatu (laundry). Kalau menunggu proses
survei pasar, pengumpulan kebutuhan user, pembuatan wireframe diagram,
pengembangan setiap fitur, hingga tahap go run, durasinya cenderung akan
lama lama. Lebih baik buat aplikasi dengan dua fitur terlebih dahulu:
pengantaran dan perhitungan biaya laundry. Tipe aplikasi ini yang
dinamakan MVP. Kemudian kita bisa mengakomodasi masukan tim internal dan
komentar dari pengguna awal tentang aplikasi tersebut. Jika misalnya ada
permintaan tentang penambahan fitur untuk memilih aroma pewangi pakaian, hal
ini bisa ditambahkan kemudian.
Tak hanya di industri besar dan start up, universitas
tempat saya bekerja juga menerapkan konsep tentang MVP dan prototipe ini. Pada
tahun 2015, terdapat wacana untuk merintis kuliah multidisiplin di Fakultas
Teknologi Industri (FTI). FTI memiliki empat buah jurusan: Teknik Kimia, Teknik
Fisika, Teknik Industri, dan Manajemen Rekayasa. Kuliah yang akan dirancang
bernama Proyek Rekayasa Inter-Disiplin (PRID). Harapannya kuliah ini dapat
menjadi wadah pada mahasiswa dari keempat jurusan yang ada di FTI untuk dapat
menyelesaikan masalah-masalah keteknikan (engineering problems). Sebelum
kuliah ini diwajibkan untuk satu angkatan mahasiswa FTI yang berjumlah lebih
dari 400 orang, perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu.
Beberapa dosen dari lintas disiplin merancang
kurikulum dan silabus mata kuliah PRID ini. Konsep kuliah ini sudah berupa MVP.
Kemudian kuliah ini dibuka untuk semester pendek dan ditargetkan untuk
mahasiswa FTI dari keempat jurusannya. Ketika itu, ada 12 orang mahasiswa
angkatan 2010 yang mendaftar. Mereka menjalankan kuliah pilot tersebut hingga
selesai. Setelah itu, masukan dan saran dari peserta kelas dikumpulkan. Tim
dosen kuliah PRID kemudian merancang penyempurnaan konsep pelaksanaan kuliah.
Pada semester berikutnya mata kuliah PRID dijadikan
wajib untuk seluruh mahasiswa FTI. Angkatan saya merupakan yang pertama
merasakan. Fakultas bekerja sama dengan Pertamina untuk mendapatkan kasus keteknikan
yang dialami perusahaan BUMN ini. Sebagai contoh, kelompok saya mendapatkan topik
tentang bagaimana pemanfaatan emisi CO2 untuk melakukan Enhance Oil Revocery
(EOR) dari salah satu kilang pertamina. EOR adalah sebuah metode untuk menginjeksikan
gas karbon dioksida untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak yang sudah
tua.
Tim kami yang terdiri dari mahasiswa yang
berbeda disiplin ilmu bekerja sama untuk memberikan rekomendasi solusi. Dalam
satu kelas ada lima kelompok dan ada delapan kelas paralel. Rekomendasi antar
kelompok ditandingkan. Juara kelas nantinya akan presentasi hasil kajian selama
satu semester kepada pertamina. Akan ada hadiah menarik untuk juara kelas dan
juara umum.
Memang masih ada kekurangan sedikit dalam
pelaksanaan kuliah. Tetapi kata dosen pengampu, bentuk kuliah yang dirancang
sudah mempertimbangkan perbaikan dari kuliah pilot di awal. Jadi pengujian di
awal penting.
Jangan tunggu sampai sempurna. Tak akan ada gading
yang tak retak. Daripada takut untuk memulai karena menunggu semuanya pas, lebih
baik mulai saja dahulu. Kemudian berdasarkan masukan dan saran, mulailah
memperbaikinya. Seperti gim SAO yang memiliki pemain Beta Tester dan
angkatan 2010 yang menjadi pionir untuk mencoba kuliah PRID di kampus saja, yang
penting coba saja dahulu.
Referensi
Ries, Eric.
The Lean Startup: How Today's Entrepreneurs Use Continuous Innovation to
Create Radically Successful Businesses. New York: Crown Business, 2011
Komentar
Posting Komentar