Pada episode pertama anime Jujutsu Kaisen, diceritakan Gojo Satoru, seorang guru dari SMK Jujutsu di Tokyo, yang membeli oleh-oleh. Sang guru bersama muridnya Megumi, sedang dalam perjalanan dinas ke Prefektur Sendai untuk mencari sebuah objek terkutuk. Di tengah kesibukannya, ia masih menyempatkan diri untuk membeli Moci Kikufuku khas daerah tersebut.
Moci Kifuku Khas Prefektur Sendai |
Hal ini
mengingatkan sayat terhadap oleh-oleh setelah pulang dari
perjalanan. Biasanya setelah bepergian saya membawa buah tangan untuk dibagikan
ke keluarga dan teman kantor. Kalau perjalanan dalam negeri, saya biasanya
hanya membelikan makanan. Menurut saya makanan dapat langsung dinikmati dan
menunjukkan kekhasan suatu tempat. Apabila pergi ke luar negeri, ketika pulang
saya juga membelikan cendera mata kecil seperti gantungan kunci atau magnet
kulkas.
Pernah
suatu kali saya berpikir, rasanya budaya membelikan oleh-oleh merupakan budaya
Indonesia yang cukup memberatkan. Kalau sedang berlibur dengan biaya
terbatas, alokasi anggaran untuk membeli barang membuat harus menekan pengeluaran
lainnya. Apalagi kalau sedang backpacking yang menggunakan maskapai LCC
(Low-Cost Carrier) dan tidak membeli bagasi. Tambahan beban oleh-oleh membuat
cemas bawaan kabin akan overweight.
Saat bepergian
untuk jalan-jalan di enam negara ASEAN sendirian dengan backpacking, saya
naik maskapai Air Asia dan tidak beli bagasi tambahan. Saya hanya membawa
sebuah tas carrier dan mengandalkan bagasi kabin. Kalau membeli oleh-oleh
di satu negara, harus di bawah ke negara berikutnya juga. Lama-lama tas akan
semakin berat. Jika dipanggul tiap hari, bisa membuat bahu nyeri.
Mengobrol
dengan teman-teman internasional, jarang yang punya budaya serupa. Kalaupun
membeli buah tangan hanya untuk keluarga dekat atau pasangannya saja. Mereka
bisa bepergian tanpa dibebani pikiran harus membawa pulang apa untuk siapa
saja. Tidak ada yang seperti orang Indonesia yang bisa membawa pulang satu
koper yang penuh oleh-oleh.
Namun, ketika
melihat merefleksikan lagi, ada beberapa hal yang membuat membawa cendera mata
tidak lagi memberatkan. Memberikan oleh-oleh bisa menjadi sarana untuk
bercerita tentang keseruan perjalanan kita. Misalnya, pada perjalanan terjauh
saya ke Brasilia, banyak pengalaman dan keseruan baru yang saya rasakan. Sebelum
berangkat, saya mendapatkan banyak dukungan dari teman dan keluarga. Karena mereka
belum berkesempatan untuk mengunjungi Brazil, saya ingin membagikan sepotong
cerita dari Negeri Samba ini. Sepotong coklat dan sebuah magnet kulkas saya
rasa bisa mewakilinya.
Kalau jalan-jalan sendirian, saya
juga mau berbagi kisah dengan keluarga di rumah. Waktu berkunjung ke
Yogyakarta di tahun 2022 awal, di mana-mana ada yang jual dan iklan Bakpia
Tugu, yang spesialisnya adalah bakpia kukus. Saya sampai tertarik untuk mencoba bakpia model baru ini karena promosinya yang gencar. Setelah saya mencoba, saya juga ingin membagikan
rasa ini kepada keluarga di rumah yang tidak sempat pengunjungi Jogja
bersama-sama. Berbagi oleh-oleh
agar mereka juga tahu rasanya.
Saya akhirnya
menemukan salah satu bentuk hadiah yang dapat mewakili cerita dari tempat yang
kita kunjungi. Oleh-olehnya berbentuk kartu pos. Kartu pos memenuhi persyaratan
(1) khas daerah tersebut dan (2) dapat dikustomisasi. Saya menuliskan tentang
apa yang saya rasakan di sana, apa cerita dari gambar atau foto pada kartu,
serta apa yang dapat saya kaitkan antara gambar tersebut dengan orang yang akan
menerimanya. Kartu pos juga ringan—hanya selembar kertas—jadi tidak memberatkan
barang bawaan. Cerita lengkapnya tentang ide oleh-oleh ini dapat
dibaca pada artikel berikut.
Selain itu,
saling memberi hadiah merupakan prinsip resiprokal. Saya sering mendapatkan hadiah
dari keluarga teman kantor. Apalagi beberapa di antaranya sering terbang ke
negara lain. Saya merasa senang ketika menerimanya. Jadi saya pun dengan senang
hati membawakan cenderamata. Untuk mengapresiasi pemberian dari orang lain saya
biasanya menggunakannya. Misalnya, Ilham membawakan sajadah dari Mekah setelah
pulang umrah. Setiap kali Jumatan di kantor, saya menggunakan alas salat
tersebut di masjid. Saya pun akan merasa bahagia saat hadiah yang saya berikan
bermanfaat bagi penerimanya.
Membawakan oleh-oleh dari destinasi liburan awalnya saya pikir menjadi hal yang menambah beban pikiran dan bawaan. Namun, kalau dipikir-pikir hadiah dapat menjadi perpanjangan tangan untuk bercerita tentang perjalanan serta saling memberi oleh-oleh dapat menjadi pembawa kebahagiaan. Jadinya, buah tangan mata tidak lagi menjadi sesuatu yang memberatkan.
Komentar
Posting Komentar