Masa sekolah menengah atas merupakan momen yang menentukan akan ke arah mana pilihan hidup kita berikutnya: apakah akan lanjut kuliah, langsung bekerja, menikah dan lainnya. Banyak faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan tersebut, mulai dari saran guru, impian teman sepergaulan, hingga model dari kakak kelas. Salah satu SMA dapat memengaruhi relatif banyak siswanya untuk memutuskan lanjut studi di perguruan tinggi tertentu.
Dulu, SMAN 3 Bandung sering dibilang
“naik kelas” ke ITB (Institut Teknologi Bandung). Banyak lulusan dari SMA yang
berlokasi di Jalan Belitung 8 Bandung ini yang diterima di ITB. Pada angkatan
2000-an hingga 2010, dari satu angkatan yang berjumlah 300-an orang, 200 orang
lebih lulusannya berhasil masuk ITB. Padahal di banyak SMA lain, apabila ada
satu orang saja alumninya yang diterima di Kampus Ganesha ini merupakan sebuah
prestasi besar. Siswa-siswi dan guru-guru SMA 3 dahulu merasa masuk ITB adalah
hal yang biasa.
Ada beberapa faktor yang menurut saya
membuat mayoritas anak SMA 3 beraspirasi untuk melanjutkan studi di salah satu
kampus terbaik di Bandung ini, hingga akhirnya dapat diterima menjadi mahasiswa
di sana.
Guru yang Mengenalkan Kampus Sejak Dini
Pertama, para guru banyak
mengenalkan tentang kampus ITB kepada muridnya di kelas. Misalnya ada guru
fisika yang ketika mengajar sering mengatakan, “Nanti soal-soal seperti ini
yang akan dipelajari kalau kalian jadi mahasiswa ITB.” Ada juga yang bercerita
tentang susahnya ujian di ITB. Jadi beliau memberikan ujian dengan tingkat
kesulitan yang tinggi agar siswa terbiasa mengerjakan soal sulit saat di ITB
nanti.
Guru-guru lain juga sering
menyinggung tentang perkuliahan dan kegiatan kampus ITB. Tidak semua guru
lulusan ITB, tapi nampaknya beliau-beliau mendapatkan informasi dari
kakak-kakak kelas yang datang ke kampus dan bercerita kepada guru dan adik
kelasnya.
Kakak Kelas yang Menjadi Role Model
Hal ini berhubungan dengan alasan
kedua, yakni pengaruh dan contoh dari kakak kelas yang sudah lebih dahulu
diterima di ITB. Ketika saya masih bersekolah di sana, cukup banyak alumni yang
kembali ke sekolah. Alasannya beragam, mulai dari menjadi pembina atau pelatih
ekskul (ekstrakulikuler), ingin membeli makanan murah di kantin sekolah, hingga
sekerang nongkrong bersama teman. Pada ekskul DKM (Dewan Keluarga
Masjid) yang saya ikuti, mentor yang membina para siswa, pemateri pelatihan,
hingga dewan penasehat merupakan alumni. Ada juga teman saya yang konsisten
menjadi pelatih ekskul KPA (Keluarga Paduan Angklung) hingga lulus kuliah.
Interaksi dengan alumni banyak
terjadi di kegiatan-kegiatan ekskul. Pengalaman tentang menjalani ujian seleksi
masuk perguruan tinggi, pilihan jurusan, serta kegiatan perkuliahan dan
organisasi kampus banyak diceritakan oleh alumni kepada para siswa. Banyak adik
kelas yang terinspirasi untuk meniti langkah yang sama dengan kakak-kakak
kelasnya.
Karena kebanyakan alumni berkuliah
di ITB, jadi kisah-kisah yang diceritakan merupakan pengalaman ke Kampus Gajah.
Makanya adik kelas banyak yang tertarik juga jadi bagian dari almamater Sang
Proklamator bangsa.
Saya termasuk salah satu di
antaranya. Jurusan yang saya pilih adalah Manajemen Rekayasa Industri (MRI).
Jurusan tersebut merupakan jurusan yang baru terbentuk. Alumni yang bercerita
adalah Kang Ghiffi (Ghifary Fadiamanto), alumni SMAN 3 angkatan 2009. Ia
merupakan mahasiswa angkatan pertama jurusan MRI ITB. Cerita Kang Ghiffi tentang jurusan MRI yang
belajar inovasi dan pengembangan produk membuat akhirnya saya memilih untuk
mendaftar ke FTI (Fakultas Teknologi Industri) ITB yang membawahi MRI.
Selain sharing informal dari
alumni ke siswa saat kegiatan ekskul, sekolah juga memfasilitasi pertukaran
informasi tentang perkuliahan dengan sebuah kegiatan khusus. Setiap tahun,
biasanya di awal semester genap ada kegiatan pengenalan jurusan. Nama
kegiatannya adalah LAJUR MISI (pengenaLAn JURusan dan seMInar motivaSI). Di
lorong dan aula, sekolah menyediakan booth dan mengundang alumni untuk
mengenalkan dan bercerita tentang jurusannya. Ruang kelas juga digunakan untuk
sesi seminar motivasi dan presentasi lebih lanjut soal jurusan. Para siswa
kelas 3 SMA dapat menggali informasi mengenai jurusan dan kampus yang
diminatinya. Mayoritas alumni yang datang merupakan alumni kampus-kampus di
Bandung Raya. Tetapi ada juga alumni yang berkuliah di luar kota, seperti di UI
(Universitas Indonesia), IPB (Institut Pertanian Bogor), dan UGM (Universitas
Gadjah Mada), yang hadir untuk berbagi pengalaman.
Kebetulan lokasi ITB dan SMAN 3
Bandung relatif dekat. Jadi jika alumni ingin sekadar mampir cukup mudah.
Ketika menjadi mahasiswa tingkat 1 saya beberapa kali berkunjung ke sekolah
bersama teman. Awal-awal masuk kuliah, saya sempat kaget dengan harga makanan
yang dijual di kantin kampus atau tempat makan lainnya di ITB. Harga seporsi
nasi ayam bisa mencapai Rp15.000 pada tahun 2011. Padahal menu yang sama bisa
didapatkan dengan harga Rp8.000 sampai Rp10.000 di Kantin Sehat SMAN 3. Ketika
di ITB soto ayam dan nasi goreng dibanderol dengan harga di atas Rp10.000
seporsi, pedagang makanan di kantin SMA menjualnya dengan harga Rp5.000.
Istirahat TPB (Tahap Persiapan
Bersama) di ITB biasanya antara pukul 11 – 14 WIB. Dengan durasi istirahat
selama tiga jam, memungkinkan mahasiswa untuk mencari makan siang ke luar.
Dengan mempertimbang harga makanan yang lebih terjangkau di kantin sekolah,
saya dan beberapa teman cukup sering makan siang di SMA 3.
Ketika saya masih menjadi siswa,
saya pun cukup sering melihat alumni yang makan siang atau sekedar bertemu
temannya di kantin sekolah, terutama alumni yang sedang menjadi mahasiswa di
ITB. Dengan sering mendengar cerita dari alumni dan melihat alumni yang kembali
ke kampus, saya dan teman-teman lain merasa bahwa masuk ITB merupakan sesuatu
yang memungkinkan untuk digapai dan tidak mustahil. Sudah terasa natural untuk
bermimpi melanjutkan studi di kampus ITB.
Sesama Teman yang Saling Menyemangati
Ketiga, alasan yang membuat banyak
siswa SMAN 3 Bandung yang ingin masuk ITB juga adalah pengaruh lingkungan
pergaulan. Ketika menduduki kelas 3 SMA, topik yang cukup sering dibicarakan
adalah mau melanjutkan ke mana setelah lulus. Obrolan dari siswa yang sudah
lebih dulu mendapatkan informasi tentang ITB, baik dari keluarga, kakak kelas,
guru atau sumber lalinnya, sedikit banyak memperkaya wawasan teman lainnya yang
belum terlalu mengenal jurusan-jurusan di kampus ini. Pertukaran informasi
terjadi di sini. Siswa yang awalnya masih bingung mau masuk jurusan apa,
akhirnya ikut-ikutan ingin masuk ITB juga karena pengaruh semangat dari
temannya.
Saking banyaknya yang ingin masuk
ITB, bahkan ada siswa yang sampai mengasumsiskan semua orang mau masuk ITB
juga. Jadi wajar jika terdengar pertanyaan, “Di ITB nanti kamu mau masuk
fakultas apa?” Padahal belum tentu pihak yang ditanya ingin masuk ITB juga.
Ada juga siswa yang ingin melanjutkan pendidikan di jurusan Kedokteran, Hukum,
dan Sastra yang tidak ada di ITB.
Keinginan masuk ITB tidak hanya ada
di angan-angan saja. Saya melihat para siswa juga berusaha untuk mengejar
impian tersebut. Mulai kelas 3, anak-anak jadi lebih rajin belajar. Terlihat di
kantin sepulang sekolah ada yang mengerjakan soal. Kebanyakan siswa kelas 3
sudah mengurangi kegiatan ekstrakulikuler dan fokus untuk belajar. Sebagian ada
yang mengambil kelas tambahan di bimbel (bimbingan belajar). Sekolah juga
mendukung semangat para siswanya dengan mengadakan pemantapan materi-materi
yang diujikan pada seleksi masuk perguruan tinggi. Seorang siswa yang mungkin
pada awalnya masih malas-malasan belajar, dengan berada di lingkungan yang
rajin dan merasakan teman-temannya yang berjuang untuk menggapai impian mereka,
lama-lama akan terpengaruh menjadi semangat belajar juga.
Alasan-alasan ini merupakan hal yang
mendorong banyaknya siswa yang diterima di ITB. Namun, kondisi yang disebutkan
di atas relevan ketika saya menjadi siswa SMA 3 dan diterima menjadi mahasiswa
di ITB tahun 2011. Sekarang bisa jadi polanya berubah. Apalagi ada sistem
zonasi yang diharapkan dapat meratakan kualitas pendidikan.
SMAN 3 Bandung tidak dalam sekejap
mata menjadi sekolah yang dapat membuat banyak lulusannya diterima di ITB. Ada
proses pengenalan kampus dari guru, sharing dari alumni, dan dukungan
dari temen-teman yang terjadi sejak beberapa generasi. Proses ini mungkin tidak
terlihat dan sulit untuk dibakukan. Namun, jika ingin menduplikasikannya pada
sekolah lain bisa jadi akan munghasilkan sekolah-sekolah lain yang dapat
membuat banyak alumninya berhasil lulus masuk seleksi ITB.
Komentar
Posting Komentar