Saya mulai senang baca novel ketika SMA. Novel pertama yang dibaca adalah Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata yang ada di rak buku ayah saya. Cerita dalam novel memang seru. Hingga terkadang lebih asyik membaca novel daripada komik karena kita bisa berimajinasi sesuka hari. Namun, hal yang membuat saya lebih senang lagi membaca novel bukan karena ceritanya saja. Akses membaca novel yang mudahlah yang mendasari kesukaan saya masih membaca novel hingga saat ini.
Nongkrong di Taman Baca
Dekat
SMA saya, ada taman bacaan Pitimoss. Taman bacaan yang terletak di Jalan Banda,
Bandung, ini menyewakan buku, komik dan novel.
Dulu proporsinya lebih banyak komik. Mungkin sekitar 70% koleksinya
berupa komik, 20% berupa novel, dan sisanya buku lain seperti majalah dan buku
non fiksi. Pengunjung juga bisa membaca di tempat. Lokasinya yang relatif
tenang dan banyak pepohonan rindang menjadikan Pitimoss nyaman untuk membaca
buku dalam waktu lama. Tempat ini juga dilengkapi dengan kantin kecil, toilet,
dan mushola. Banyak juga pengunjung yang sampai malam, atau bahkan kalau akhir
pekan ada yang seharian duduk di sana untuk membaca.
Jika
ingin membawa pulang, biaya sewanya juga relatif terjangkau. Seingat saya,
ketika tahun 2011 biaya sewa satu buah komik sekitar Rp100-200 per hari. Novel Rp500/hari.
Jadi kalau meminjam novel seminggu, biayanya Rp7.500. Dibandingkan harus membeli
novel setiap ingin membaca, pilihan menyewa lebih murah. Terlebih saya biasanya
hanya membaca novel satu kali saja. Jarang membawa sebuah cerita berkali-kali.
Lokasi
taman baca yang dekat dari sekolah, hanya 5 menit berjalan kaki, serta harga
sewa yang relatif murah, membuat saya jadi cukup sering bolak-balik meminjam
novel. Paling banyak genre yang saya baca adalah fiksi, baik karangan penulis
lokal maupun penulis asing yang telah diterjemahkan.
Menemukan Genre Favorit
Dari
novel-novel yang dibaca, saya menemukan genre favorit saya merupakan fiksi.
Lebih spesifiknya lagi novel fiksi yang melibatkan tokoh mitologi atau legenda.
Salah satu contohnya adalah seri Percy Jackson dari Rick Riordan. Di
dalam novel diceritakan dewa-dewa Yunani, seperti Posidon, Zeus dan Hades,
nyata dan masih hidup berdampingan dengan manusia. Percy, sang tokoh utama, merupakan putra dari
Poseidon sang Dewa Laut.
Contoh
lainnya adalah seri The Secret of Immortal Nicholas Flamel yang ditulis
oleh Michael Scott. Nicholas Flamel, seorang ahli kimia asal Perancis yang hidup
di abad pertengahan, dikisahkan berhasil menemukan phillosopher stone (batu
bertuah) dan mencapai hidup abadi. Ada juga beberapa tokoh-tokoh sejarah yang
dikisahkan hidup abadi seberti Gilgamesh, William Shakespeare, dan Niccolò
Machiavelli. Cerita di dalam novel juga dilengkapi dengan dewa-dewa seperti
Odin, Mars, dan Prometheus yang sama-sama diceritakan hidup di dunia nyata.
Benang
merah dari kedua cerita tersebut adalah tokoh-tokoh dari masa lalu, diceritakan
hidup di zaman modern. Saya suka bagaimana penulis novel bisa mengaitkan tokoh-tokoh
sejarah dan karakter legendaris dengan kondisi yang kontemporer. Salah satu
alasan kenapa saya, dan cukup banyak penggemar yang menyukai konsep ini adalah familiarity
of the unknown. Novel-novel ini memungkinkan pembaca berimajinasi bagaimana
tokoh sejarah dan mitologi dalam sebuah perspektif baru dan tak disangka.
Bayangkan bagaimana kalau Mars atau Ares sang Dewa Perang digambarkan memiliki
watak yang culas dan berkhianat. Para pengarang mencampurkan sesuatu yang
familiar (zaman modern sekarang dan tokoh historis/mitologis yang kita ketahui)
dengan hal yang belum familiar (petualangan dan pengalaman baru), yang
membuatnya menjadi seru dan menarik.
Selain
keseruan cerita, saya juga jadi belajar dari membaca novel. Terkadang di dalam
novel dijelaskan latar belakang tokoh, tetapi banyak juga yang tidak terlalu
digali secara mendalam. Misalnya pada seri The Secret of Immortal Nicholas Flamel,
ada tokoh Hekate. Tokoh ini merupakan dewi Yunani dengan wajah tiga yang mahir
sihir. Saya jadi tertarik membaca legenda atau sejarah dari tokoh-tokoh yang
muncul dalam cerita.
Membaca novel-novel
Rick Riordan, saya juga jadi ingin mendalami mitologi-mitologi dunia. Seri Percy
Jackson membuat saya tertarik dengan mitologi Yunani. Seri The Kane
Chronicles membuat saya terbuka dengan mitologi Mesir Kuno. Dan seri The
Heroes of Olympus membuat saya penasaran dengan hubungan mitologi Romawi
dengan Yunani.
Awalnya Pusing dengan Bahasa Asing
Cerita
yang seru juga membuat saya penasaran untuk membaca seri-seri berikutnya. Hal
inilah yang membuat saya jadi semakin suka membaca novel. Ratusan bahkan ribuan
halaman buku yang isinya tulisan semua tidak membuat saya bosen. Bahkan saking
penasarannya, saya sempat “memaksakan diri” untuk membaca novel dalam Bahasa
Inggris.
Sebelumnya,
novel yang saya sewa dari Pitimoss berbahasa Indonesia. Saya nyaman membaca dengan
bahasa ini karena penguasaan kosa kata bahasa Inggris belum terlalu banyak. Di
Indonesia, novel The Secret of Immortal Nicholas Flamel baru terbit tiga
seri. Saya penasaran dengan kelanjutan cerita yang akhirnya menggantung di
ujung buku ke-3. Di luar negeri, buku ke-4 sudah terbit. Di internet juga ada
versi digitalnya, tetapi dalam bahasa Inggris. Akhirnya saya mencoba membaca kalimat
demi kalimat agar dapat tahu alur cerita berikutnya.
Di awal,
saya merasa kesulitan membaca novel berbahasa Inggris. Baru baca sedikit, lihat
kamus karena ada kata yang belum paham. Mulai dari setengah buku, saya sudah
mulai terbiasa. Frekuensi bolak-balik mengecek kamus berkurang. Dan saya bisa
paham arti kata yang belum pernah dipelajari dari konteks kalimat dan paragrafnya.
Untungnya buku ini ditujukan untuk anak-anak dan remaja, jadi narasinya tidak
terlalu banyak kata yang kompleks.
Setelah
selesai membaca satu novel berbahasa asing, polanya pun berulang. Saat di luar
negeri buku ke-5 sudah keluar baik versi fisik maupun digitalnya, di Indonesia
belum terbit terjemahannya. Saya pun mengulang memberanikan diri untuk membaca
novel berbahasa Inggris untuk tetap mengikuti cerita petualangan sang tokoh
utama. Buku kedua sudah lebih nyaman bacanya. Ada banyak kata-kata bahasa
Inggris baru, yang saya pelajari dari pengalaman membaca di buku pertama,
membantu saya lebih mudah memahami cerita saat membaca buku ini. Pepatah bisa
karena biasa memang manjur.
Hingga
sekarang saya masih suka membaca novel berbahas Inggris, terutama light
novel dari Jepang. Saya belum paham bahasa Jepang dan kesulitan membaca
kanji di buku. Jadi saya membaca versi terjemahan bahasa Inggris. Masih ada
beberapa kata yang saya belum tahu artinya. Namun secara umum tidak mengurangi
pengalaman menikmati proses membaca dan mengetahui alur cerita. Malahan karena
sudah cukup banyak menamatkan novel berbahasa Inggris, ketika membacanya di
pikiran cerita mengalir seperti membaca buku dari penulis lokal.
Manfaat
memaksakan diri membaca novel-novel dalam bahasa Inggris ternyata terasa
setelah dewasa. Saya jadi lebih terbiasa dengan teks Inggris dan tidak takut
untuk membacanya. Beberapa orang ada yang langsung apatis bahkan cenderung takut
saat menemukan teks berbahasa Inggris. Mungkin karena tidak terbiasa. Dengan
membiasakan diri ketika SMA membaca buku tebal yang isinya teks bahasa Inggris
semua, membuat sedikit banyak kemampuan reading saya meningkat.
Pengalaman
orang dalam menemukan keseruan membaca novel berbeda-beda. Bagi saya, kecintaan
menelusuri kisah-kisah dalam untaian kata-kata di novel berawal dari kemudahan
akses membaca ketika SMA. Setelah menemukan genre favorit, rasa penasaran
kemudian membuat menembus batas untuk belajar bahasa asing demi tahu kelanjutan
cerita. Manfaatnya pun terasa ketika dewasa dengan menjadikan diri terbiasa dengan
bahasa Inggris.
Komentar
Posting Komentar