Dalam pergantian zaman dan tantangan baru yang datang setiap tahun, organisasi yang sukses adalah yang mampu beradaptasi dan terus berkembang. Hal ini juga berlaku pada Ikatan Alumni Teknik Industri (IA TI) Institut Teknologi Bandung (ITB), yang saat ini tengah menjalani pemilihan kepemimpinan untuk periode 2023-2027.
Dua kandidat yang berlomba adalah
Wiza Hidayat, alumni angkatan 2001, dan Muhammad Iqbal, alumni angkatan 1992.
Keduanya memiliki latar belakang dan komitmen yang berbeda, namun sama-sama
berjanji untuk membawa perubahan positif bagi Ikatan Alumni TI ITB.
Homecoming IA TI ITB 2023 |
Salah satu calon, sebelum
mencalonkan diri, telah terlibat banyak kegiatan dalam kepengurusan sebelumnya,
termasuk dalam pengumpulan dana lestari, atau endowment fund. Dana ini
digunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan, bantuan mahasiswa, dan
pengembangan program studi secara umum. Pada periode pengumpulan pertama,
berhasil dikumpulkan sejumlah lebih dari Rp1,5 miliar. Meskipun bagi sebagian orang jumlah ini mungkin tidak
terlalu besar, namun bagi kami yang terlibat langsung dalam prosesnya, jumlah
tersebut adalah bukti dari usaha keras yang telah kami lakukan.
Salah satu calon bahkan
berkontribusi sebesar Rp40 juta secara pribadi terhadap dana tersebut. Beliau
juga menyumbangkan tambahan Rp200 juta untuk dana lestari ke ITB. Bantuan
langsung ini menjadi gambaran dari komitmen beliau terhadap pengembangan
kualitas pendidikan.
Namun, di tengah suasana
pemilihan yang semarak, ada satu hal yang perlu direfleksikan. Dalam kampanyenya, salah satu
kandidat ada yang menyinggung nominal total dana yang terkumpul. Narasi
kampanyenya berbunyi, "Kondisi dana yang dimiliki saat ini sangat jauh dari
memadai, yaitu Rp1,5 miliar
saja. Jumlah tersebut tidak akan bisa menggerakkan roda organisasi untuk
menjadi wadah yang efektif dan berguna bagi para alumninya."
Jika terpilih, kandidat tersebut
berkomitmen untuk mengumpulkan dana sejumlah Rp50 Milyar. Tentu saja, tidak ada
masalah dalam menetapkan tujuan ambisius seperti itu. Namun, beberapa dari kami
yang terlibat dalam proses penggalangan dana merasa sedikit tersinggung dengan
narasi tersebut.
Tentu, Rp1,5 miliar mungkin
tampak tidak seberapa bagi sebagian orang. Tetapi, bagi mereka yang terlibat,
jumlah ini diperoleh melalui upaya yang sungguh-sungguh. Mulai dari perancangan
konsep, desain, publikasi, menjadi contact point alumni, koordinasi dengan
pengurus untuk sosialisasi dan pengumpulan, hingga menangani birokrasi dengan
ITB, semua dilakukan dengan dedikasi dan kerja keras.
Narasi kampanye yang menganggap
remeh pengumpulan dana sebesar Rp1,5 miliar ini tentu menyinggung bagi mereka
yang telah berkontribusi. Panitia pengumpulan dana tidak ada yang mencari apresiasi. Karena mereka yang
memberikan donasi adalah yang patut diapresiasi. Namun, diskredit terhadap
perjuangan kolektif ini seolah meremehkan kerja keras yang telah diberikan.
Pada narasi kampanye yang sama,
sang kandidat juga menyampaikan tantangan untuk "merealisasikan dana Rp10
milyar dalam enam bulan pertama sejak terpilih". Ini merupakan tantangan
ambisius dan patut diapresiasi. Kami dan beberapa rekan seangkatan berkomitmen
untuk mengawal komitmen ini, memastikan bahwa janji ini bukan hanya kata-kata
belaka, tetapi diwujudkan untuk kepentingan IA TI ITB dan jurusan kita tercinta.
Apa yang penting bukan hanya jumlah dana
yang terkumpul, tetapi juga penghargaan dan pengakuan terhadap usaha yang telah
dilakukan. Seiring berjalannya pemilu ini, semoga kita semua dapat menyadari
pentingnya saling menghargai dan menghormati kerja keras setiap individu dalam
mencapai tujuan bersama.
Komentar
Posting Komentar