Pendidikan tinggi merupakan fondasi penting dalam membangun karier akademik, terutama bagi mereka yang bercita-cita menjadi dosen di perguruan tinggi. Di banyak institusi, pendidikan S3 telah menjadi syarat minimal untuk mencapai posisi dosen. Selain menjadi pintu masuk ke dunia akademik, pendidikan doktoral juga menawarkan kesempatan untuk melakukan penelitian yang memberikan kontribusi ilmiah baru di bidang tertentu. Namun, di balik semua itu, perjalanan pendidikan setelah S2 ini juga memiliki dinamika yang unik dan perbedaan perspektif yang menarik untuk dieksplorasi.
Perkuliahan doktor ditempuh dalam durasi yang lama, biasanya 3-5 tahun atau bahkan lebih. Mahasiswa harus menghadapi tantangan dan komitmen yang besar dalam menyelesaikan penelitian mereka. Namun, di balik perjalanan yang panjang ini, terdapat dua perspektif berbeda yang pernah saya dengar tentang menjalankan kuliah S3.
Kontribusi Keilmuan Saat Penelitian Doktor. Sumber: Researchgate |
Salah satu perspektif datang dari Bu Yosi, atau Yosi Agustina Hidayat, seorang dosen Teknik Industri yang menempuh pendidikan S3 di Kyoto University. Ketika berbicara di sebuah forum santai dengan mahasiswa, beliau menggambarkan masa-masa PhD sebagai masa yang sangat berat dan menekan. Tingkat stresnya sangat tinggi karena tuntutan penelitian dan harapan yang tinggi dari tim penelitian dan pembimbingnya. Namun, meskipun menghadapi tantangan tersebut, Bu Yosi berhasil mengatasi hambatan tersebut dan berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan sukses.
Di forum yang sama, terdapat perspektif lain yang datang dari Pak Anton, atau Antonius Indarto, seorang dosen Teknik Kimia yang juga sudah selesai menempuh pendidikan pasca sarjana. Beliau berbagi tentang pengalamannya yang sangat berbeda. Pak Anton mengungkapkan bahwa masa-masa pendidikan S3 adalah masa yang paling bahagia dalam hidupnya. Beliau memiliki kecintaannya terhadap sepak bola dan klub favoritnya adalah Torino Football Club. Dalam pemilihan universitas, beliau sengaja memilih University of Turin yang terletak di kota Torino, Italia, tempat klub kesayangannya berada. Ketua jurusan Teknik Bionergi dan Kemurgi di ITB ini menikmati setiap momen pertandingan di stadion dengan gratis, bahkan dibayar. Beliau menjadi relawan pertandingan yang tanggung jawabnya menjaga tiket, membantu petugas kebersihan, dan menunjukkan bangku kepada penonton.
Kisah Pak Anton menyoroti pentingnya menggabungkan hobi dengan pendidikan akademik. Beliau menunjukkan bahwa pendidikan S3 bukan
hanya tentang mengejar gelar atau penelitian ilmiah, tetapi juga tentang
mengejar kebahagiaan dan kesenangan dalam
Dalam menempuh pendidikan S3, terdapat berbagai perspektif dan pengalaman yang berbeda. Setiap individu memiliki ceritanya sendiri tentang perjalanan mereka dan bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut. Bagi siapapun yang sedang menempuh atau mempertimbangkan pendidikan S3, cerita-cerita seperti yang diutarakan oleh Bu Yosi dan Pak Anton memberikan wawasan yang berharga tentang perjalanan yang menantang dan juga penuh dengan potensi kebahagiaan.
Komentar
Posting Komentar