Salah satu kemampuan yang saya paling saya syukuri adalah mudah tidur di mana saja, bahkan kapan saja. Saya awalnya berpikir ini merupakan hal yang biasa saja, tapi ternyata setelah melihat beragam contoh barulah sadar kalau ini merupakan anugrah yang luar biasa.
Contoh
sederhananya adalah kalau dalan perjalan. Naik transportasi apapun kalau tidak
mengobrol atau melakukan hal yang lainnya saya akan mudah terlelap. Teman saya,
Imin (Sari Minati), menamakannya dengan ‘pelor’ (nempel-molor). Begitu menempelkan
kepala di kursi, langsung tertidur. Jadi ketika bangun bisa merasa tidak ngantuk
lagi dan terhindar dari mabuk perjalanan.
Salah satu pengalaman
yang paling berkesan dalam menggunakan waktu di perjalanan untuk istirahat adalah
ketika solo traveling di enam negara ASEAN. Saya menghabiskan lima hari
di Myanmar, tanpa menginap di hotel satu malam pun. Waktu tidur saya habiskan
di bus malam antar kota. Misalnya pada hari pertama, malanya saya berangkat
dari Kota Yangon ke Kota Bagan. Perjalanan menghabiskan waktu tuju jam. Di
dalam bus saya tidur untuk beristirahat dan memulihkan tenaga. Keesokan harinya
pun demikian. Saya berangkat dari Bagan ke Danau Inley juga naik bus malam yang
menempuh sekitar delapan jam perjalanan.
Contoh
lebih seriusnya adalah saya naik kereta malam dari Bandung ke Yogyakarta untuk
memberikan pelatihan pada pagi harinya. Kesempatan untuk beristirahat sepanjang
jalan membuat paginya saya sudah segar kembali dan siap untuk mengisi materi. Kalau
misalnya tak sempat tidur sama sekali, saat bicara di depan kelas bisa tidak
fokus.
Banyak orang
yang kesulitan tidur di perjalanan. Mereka mengaku sulit untuk memejamkan mata
dan terlelap pada kendaraan yang bergerak. Jadi waktu perjalanan merupakan
waktu tambahan lagi, tidak disekaliguskan sebagai waktu istirahat. Agak kurang
efektif sepertinya.
Bahkan ada
beberapa orang yang bilang kalau mereka sulit tidur pada malam pertama di
tempat yang baru. Malam kedua atau ketiga barulah dapat beradaptasi untuk merasa
nyaman membaringkan diri di tempat tidur yang bukan kamar rumahnya.
Untuk
perjalanan panjang, skill ini sangat berguna. Perjalan terpanjang yang
pernah saya alami adalah ketika naik pesawat dari Amsterdam di Belanda ke São
Paulo di Brazil. Penerbangan dengan maskapai KLM memakan waktu 16 jam. Untungnya
mayoritas perjalanan saya habiskan dengan tidur. Saya terbangun saat dua kali
jadwal makan dan snack di antaranya. Ternyata tidur sepanjang perjalanan
antar benua dapat mengurasi rasa jet lag. Alhamdulillah ketika sampai
saya bisa langsung beraktivitas seperti biasa dan tetap sehat selama empat hari
konferensi. Tidak terbayang kalau tidak bisa memejamkan mata sama sekali dalam penerbangan
yang lebih dari setengah hari ini. Kalau saya pasti akan merasa bosan dan stres
karena ruang gerak dan aktivitas yang bisa dilakukan terbatas.
Sayangnya,
saking mudahnya tidur ada juga kekurangan yang saya rasakan karena bakat ini.
Saat menunggu sedikit, tidur. Kalau di kelas, sering mata terasa berat. Dan di
mobil jika hanya duduk sebagai penumpang saya bisa meninggalkan driver menyetir
sendirian karena mata terpejam. Padahal seharusnya peran saya sebagai navigator.
Saya belum
tahu apakah kemampuan ini bisa dilatih atau tidak. Tapi rasanya kalau kemampuan
yang bukan terkait dengan bawaan lahir seharusnya bisa dipelajari. Karena
walaupun sepele, mudah tidur merupakan kemampuan yang banyak memiliki manfaat.
Komentar
Posting Komentar