“Sampurasun . . .”
“Rampes!”
Saat sesi
pembukaan Open House Pendidikan ITB kemarin, pembawa acara megucapkan
sapaan khas Sunda ini pada panggung utama. Cukup banyak peserta yang membalasnya.
Tapi saya juga mendengar ada beberapa peserta yang datang dari luar Jawa Barat
berbisik-bisik mengenai apa arti dari kata-kata tersebut.
Kebetulan,
pada sesi mentoring rutin pada malam harinya, Kang Ari (Kristiawan) membahas
mengenai arti dari sampurasun dan rampes. Awalnya Kang Ari
menyinggung mengenai kekecewaannya terdahap salah satu ulama yang terkesan
melecehkan budaya ini dengan mengucapkan pelesetan sampurasun menjadi ‘campur
racun’. Katanya sampurasun merupakan singkatan dari kata ‘sampura
ning ingun’ yang bermakna ‘sempurnakan diri kamu’. Arti frase ini menjadi
pengingat untuk menjadi pribadi yang semakin baik karena terus menyempurnakan
diri.
Balasan
dari sapaan ini, yakni kata ‘rampes’ memiliki makna mengiyakan. Saat
mendapatkan pengingat, orang yang disapa menerima kata pengingat tersebut. Ia
tidak menolak ataupun menyangkalnya sebagai bentuk penghargaan. Saling sapa
dengan menggunakan kedua kata dalam bahasa Sunda ini terdengar indah karena
masing-masing individu peduli dengan individu lainnya.
Terkait
dengan sapaan ini yang katanya tidak disarankan bagi orang muslim, saya kurang
setuju dengan pendapat ini. Saya lebih mendukung argumen yang menyatakan bahwa
kata sapaan ini merupakan unsur budaya dan bahasa, bukan unsur agama. Ini mirip
seperti pada bahasa Indonesia yang menggunaan kata sapaan ‘apa kabar?’ dan di
jawab dengan ‘baik’. Jadi jika dalam suatu acara atau momen bertemu orang lain
ada yang menyapa dengan mengatakan sampurasun, saya akan dengan ramah
menjawab rampes.
Komentar
Posting Komentar