Sewaktu masih sekolah dan kuliah dulu saya jarang menunaikan sholat shubuh di masjid. Awal mula saya terbiasa melangkahkan kaki ke masjid sebelum shubuh adalah ketika bekerja di Balikpapan. Tempat tinggal dan tempat kerja masih dalam satu area. Dari kamar ke kantor jaraknya hanya tiga menit berjalan kaki. Masjid pun ada di bagian belakang kantor. Di area komplek Pertamina. Tapi pegawai perusahaan Total juga sering sholat di sana.
Saya bisa
berangkat untuk sholat shubuh bersama Dhika (Muhammad Andhika Putra) teman dari
jurusan Teknik Lingkungan yang sedang bekerja di divisi HSE (Health, Safety,
and Environment) di Total. Karena lewat hutan jalan masih gelap, kami
biasanya naik motor untuk menuju masjid.
User N+2 saya, Pak Utama sang head of
department rutin juga sholat di masjid tersebut. Jadi kami sering
berpapasan saat sholat shubuh. Pernah ketika saya tidak ke masjid, paginya
ketika bertemu di kantor beliau menanyakan “Parama tadi kenapa gak sholat
shubuh di masjid?” dan saya hanya bisa menjawab dengan “he he . . .”. Mula-mula
saya merasa terpaksa untuk sholat shubuh di masjid dengan tujuan agar
mendapatkan impresi baik di mata atasan. Tapi lama-kelamaan mulai terbiasa dan
langkahnya tidak berat lagi.
Hal lain
yang semakin meningkatkan motivasi untuk rajin shubuh di masjid adalah dengan
adanya giliran membaca hadist. Setelah selesai sholat, ada satu orang yang
membaca hadist dari kitab Bulughul Maram. Setiap hari akan dibacakan 1 hadist.
Biasanya setiap orang mendapat tanggung jawab pembacaan setiap dua pekan
sekali. Jika berhalangan bisa mengabari di grup WhatsApp untuk mencari
penggantinya. Dengan dililbatkan untuk aktivitas ringan seperti pembacaan
hadist ini saya merasa memiliki sense of belonging terhadap masjid dan semakin
tumbuh rasa cinta untuk menunaikan sholat berjamaah di sana.
Alhamdulillah
kebiasaan baik untuk sholat berjamaah di masjid momentumnya terbawa hingga
pulang ke Bandung. Sekali momentum sudah bergulir, akan lebih mudah untuk
meneruskannya kembali. Jika sudah berhenti, energi yang diperlukan untuk mulai
bergerak cenderung lebih besar. Pandemi Covid-19 membuat momentum rutin sholat
berjamaah di masjid sempat terhenti.
Kesempatan
untuk berangkat ke Taiwan untuk belajar di tengah masa pandemi membuat momentum
untuk rutin sholat berjamaat terbangun kembali. Di Taipei saya tinggal di
asrama IECA (Islamic Education and Cultural Association). Asrama ini
memfasilitasi mahasiswa muslim internasional yang sedang kuliah di Taiwan untuk
dapat belajar sambil memperdalam ilmu agama. Di asrama salah satunya ada
program shalat berjamaah rutin. Sholat shubuh pun diselenggarakan bersama-sama.
Biasanya di sholat fajar ini anggota asrama full team. Kalau dari pagi
hingga larut malam ada yang ke kampus dan kegiatan di laboratorium. Anak asrama
juga mendapatkan giliran muadzin harian untuk adzan setiap waktu
sholat wajib tiba dan memimpin dzikir setelah shalat.
Dari
pengalaman-pengalaman ini ada dua kunci yang saya pelajari untuk menanamkan
kebiasaan sholat shubuh berjamaah di masjid. Pertama, bangun momentum dan jaga
agar momentum tersebut tetap bergulir. Kata pepatah bahwa bisa karena terbiasa
adalah benar adanya. Energi dan effort yang dikeluarkan di awal pasti
besar. Namun lama-kelamaan akan lebih ringan. Awalnya saya pun merasa berat
untuk berganti baju yang rapi dan berjalan dikala surya belum menyingsing. Tapi
jika sudah terbiasa aktivitas akan lebih mudah.
Kedua, dalam
mengajak orang untuk berbuat kebaikan secara rutin cara paling mudah adalah
dengan melibatkannya mulai dari hal kecil. Dalam kasus saya, diajak untuk
terlibat dalam pembacaan hadist harian merupakan hal yang membuat saya akhirnya
memiliki rasa kepemilikan terhadap masjid dan pengelolalnya. Untuk menjaga
kebersihan ruangan sekretasiat unit atau himpunan mahasiswa mungkin cara yang
sederhana dengan membuat jadwal piket harian divisi yang digilir setiap hari. Walau
terkesan ringan, tapi bisa jadi berdampak besar bagi orang yang dilibatkan.
Komentar
Posting Komentar