Ketika awal pandemi Covid-19, semua orang takut terkena penyakit ini. Protokol kesehatan masih dijalankan dengan ketat, masker selalu dikenakan, dan jarak fisik diupayakan untuk dijaga. Jika akhirnya terpapar virus, isolasi dijalankan dengan ketat serta obat dan vitamin disuplai secara konstan.
Setelah berlalu dua tahun dan persentase populasi yang sudah divaksinasi
lengkap cukup tinggi, kecemasan orang tentang Covid-19 semakin berkurang.
Walaupun ada varian virus baru seperti Delta dan Omnicron, kekebalan populasi
sudah semakin meningkat. Ada negara-negara yang kebijakan pengendalian
Covid-19nya baik, namun ada juga negara yang kecolongan terhadap ganasnya virus
ini.
Awalnya Taiwan merupakan salah satu teritori yang pengendalian
penyebaran virusnya baik. Namun karena pelonggaran kebijakan dan sudah membuka border
negara untuk orang asing, penyebaran pun meningkat. Di bulan April – Mei 2022,
jumlah penambahan kasus per hari sudah di atas 50.000. Kala itu sekolah dan kuliah
sudah mulai menjadi daring dan work from home juga digencarkan. Saya
jadi khawatir dan rajin mengecek berita dari CDC (Center of Disease Control)
mengenai jumlah penambahan kasus harian yang dipublikasi pada pukul 15 setiap
harinya. Jalan-jalan lebih dibatasi dan kalau keluar rumah lebih berhati-hati.
Walaupun begitu, akhirnya saya terkena virus Covid-19 juga ketika sedang
belajar di Taiwan. Awalnya ada salah satu santri di asrama yang mulai
batuk-batuk parah. Di kampusnya, National Taiwan University of Science and
Technology (NTUST), satu dormitory mayoritas sudah terjangkit Covid-19.
Hasil Rapid Test Mandiri yang Ternyata Positif |
Untungnya gejala yang saya rasakan tidak parah. Hari Sabtu ketika bangun
saya merasa tenggorokan kering dan agak meriang. Setelah sholat shubuh dan kelas
pagi, saya mengiyakan tawaran untuk dibuatkan ramuan herbal dari Pak Andi.
Habis meminut jamu racikan itu, saya pun beristirahat. Niatan untuk ikut
jalan-jalan bersama teman bahasa siang ini terpaksa harus saya urungkan. Sore
harinya saya mencari alat rapid test di 7-11. Dan setelah mengambil tes
hasilnya positif. Beberapa teman asrama juga ada yang positif, namun karena gejalanya
juga tidak terlalu parah kami isolasi mandiri di kamar.
Perawatan yang saya lakukan hanya banyak minum air hangat, makan cukup,
dan lebih banyak istirahat. Untungnya roommate saya, Taufik, juga
seorang dokter jadi bisa memantau perkembangan santri yang sakit. Alhamdulillah
di hari ke-2 gelaja sudah berkurang. Demam sudah turun dan tenggorokan sudah
mulai membaik. Namun hidung jadi meler tanpa sesak nafas. Untungnya selain
gejala itu tidak ada kendala berarti. Nafsu makan masih ada dan indera penciuman
tidak hilang. Tidur juga nyenyak seperti biasa. Salah satu penyebabnya mungkin
karena tertular varian Omnicorn yang gejalanya tidak terlalu parah dan sudah
divaksinasi booster yang ke-3 kali. Hanya saja kendalanya bosan karena tidak
dapat keluar, hehe.
Saya juga melaporkan ke dosen dan pihak kampus. Mereka menyarankan untuk melakukan tes PCR di community testing center serta memberikan kontak klinik dan rumah sakit untuk dihubungi jika gejala semakin parah. Tapi karena kalau ke lokasi testing cukup jauh, tidak dapat naik sepeda dan saya menghindari naik transportasi umum, saya memilih untuk cukup isolasi mandiri di asrama saja. Alhamdulillah di pagi hari ke-4 saya sudah merasa sehat dan ketika dicek hasilnya sudah negatif.
Banyak hal yang saya syukuri ketika terinfeksi virus Covid-19 ini.
Pertama, ketika terjangkit semua orang juga kena. Terlalu hiperbolik! Tidak
semua sih, tapi saat itu penambahan orang yang terjangkit lebih dari 80.000 setiap
harinya. Banyak sekali orang yang saya kenal sudah terkena. Teman di kampus pun
cukup banyak yang sudah terpapar. Di awal kedatangan ke Taiwan, ketika kasus lokal
masih terjaga 0 per hari, pemerintah sangat ketat untuk pengendalian
penyebarannya. Teman saya yang hasil PCRnya postif ketika mendarat di Taiwan
dari St. Kitts & Navis, sampai harus dirawat di rumah sakit selama hampir 1
bulan hingga benar-benar negatif. Ketika saya terkena, karena saking banyak
yang terpapar dan kapasistas rumah sakit mulai penuh, kami justru disarankan
untuk isolasi mandiri saja. Isolasi pun cukup 7 hari dengan 7 hari tambahan self
health menagement, sudah boleh keluar tapi harus menjaga jarak dan tetap
mematuhi protokol kesehatan. Karena sudah banyak yang kena, stigma negatif dari
masyarakat apabila sudah sakit jadi lebih berkurang. Sebelumnya kalau ada yang
terjangkit biasanya akan mendapat stigma tidak patuh protokol kesehatan.
Kedua, kebetulan gara-gara pertambahan kasus yang sangat tinggi kuliah
dibuat menjadi daring selama dua pekan. Periode waktu saya sakit dan isolasi
mandiri masih berada dalam rentang dua minggu ini. Saya dapat tetap mengikuti
kuliah dari rumah dan tidak ketinggalan kelas tambahan. Kata teman sekelas saya saat mengikuti kelas di Zoom, saya tidak
terlihat seperti orang sakit. Begitu juga yang saya rasakan, hanya gelaja
ringan dan masih dapat beraktivitas seperti biasa.
Kuliah Online dari Rumah Walau Sedang Pemulihan |
Ketiga, hal yang disyukuri adalah ketika sakit saya tinggal di asrama
mahasiswa, tepatnya Yonghe Islamic Cultural Center di Taipei. Tidak terbayang
kalau sedang tinggal sendirian, mungkin saya akan stres dan memperparah gejala
yang dialami. Teman-teman di asrama bersikap biasa saja dan tidak terkesan
menjauhi walau saya dinyatakan positif Covid-19. Mereka masih menyiapkan
makanan dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Momen sakit ini, yang membuat
saya menghabiskan lebih banyak waktu di asrama, membuat saya lebih dekat dengan
teman-teman penghuni. Sebelumnya saya lebih sering di luar. Berangkat sekitar
jam 7 pagi sebelum kelas dan pulang hampir tengah malam. Sabtu-minggu pun saya
jarang sekali ada di asrama. Dengan adanya teman yang sama-sama sedang sakit
bisa saling menguatkan.
Masih dibuatkan Makanan Enak, Gulai & Se'i Sapi oleh Anak Asrama |
Setelah sembuh, manfaat dalam diri yang saya rasakan adalah tidak
secemas sebelumnya. Jika sebelum sakit saya rutin mengecek berita dan mencari
takut setelah tahu tingginya pertambahan kasus, setelahnya saya jadi tidak
terbebani lagi. Selain itu ketika ada teman yang sakit, jadi jadi relawan untuk
membantu membelikan makanan atau kebutuhan lainnya. Misalnya tak lama setelah
saya sembuh Bang Azlan baru terjangkit Covid-19. Saya menawarkan diri untuk
membelikan makanan dan barang-barang kebutuhan harian dari supermarket, lalu
mengantarkan ke apartemennya. Dua pekan setelahnya, Zachery, salah satu teman
sekelas yang tinggal berdekatan, juga hasil tes rapidnya positif. Saya pun rutin
membantu membelikan dan mengantarkan makanan ke rumahnya.
Resmi menjadi sarjana Covid-19 di Taiwan, ternyata banyak hal yang saya syukuri dan
banyak mengambil pelajaran darinya. Alhamdulillah gejalanya tidak parah dan
sembuhnya relatif cepat. Waktu terjangkitnya juga pas ketika ada kebijakan kuliah
online dari kampus. Saya bisa berkenalan dan mengobrol lebih banyak dengan
teman-teman di asrama. Dan setelah pulih saya bisa menjadi relawan untuk
membantu teman-teman yang juga terpapar virus Covid-19.
Komentar
Posting Komentar