Bagaimana rasanya jika dipanggil dengan nama yang berbeda dari nama yang sudah tersemat pada diri kita sejak lahir?
Di
Taiwan ada kebiasaan unik untuk memberikan nama pada orang luar yang tidak
memiliki Chinese name. Misalnya jika nama kita Tom Holand, dibandingkan
memanggil nama ‘Tom’ yang hanya satu kata, biasanya kolega, dosen, atau
supervisor kita akan memberikan nama berbahasa Mandarin dengan alasan lebih
mudah pengucapannya. Kalau melihat di grup LINE, chatting messanger)yang
paling banyak digunakan di Taiwan, tipikal display name di grup
mahasiswa atau pekerja Indonesia yang sedang tinggal di Taiwan, tulisannya nama
asli dilanjutkan dengan Chinese name.
Kebiasaan
ini berbeda dengan yang saya temui ketika tinggal di Hong Kong, yang malah berkebalikan.
Orang Hong Kong atau orang Mainland yang pindah ke sini mengadopsi nama
pertama berbahasa Inggris dengan tetap mempertahankan nama keluarganya. Jadi
tipikal nama Hong Kong biasanya gabungan antara nama Inggris dan Chinese
seperti Andrew Wang, Lisa Chin, Thomas Wong. Ketua jurusan saya, yang bernama Wan
Shui Ki, dipanggil Monique Wan.
Saya
mendapat Chinese name dari Ximin, teman kuliah saya di Hong Kong. Ia menyematkan
nama ‘Huó Léi Fēng’ (活雷鋒) kepada saya. Nama tersebut diambil dari
salah satu propaganda pemerintah Tiongkok di masa kepemimpinan Mao Zedong.
Ceritanya ada seorang prajurit bernama Léi
Fēng. Ia merupakan
pribadi teladan yang senang menolong dan rela berkorban untuk orang lain.
Pemerintah menjadikan karakter ini sebagai model untuk mempromosikan warga agar
meniru karakter sang prajurit yang mulia. Mereka menyuarakan slogan ‘Huó Léi Fēng’ yang kurang lebih artinya hiduplah seperti Léi Fēng.
Poster Propaganda dengan Konten 'Follow Lei Feng's Example' Sumber |
Karena
Ximin bilang saya saya baik hati dan senang menolong teman-teman di kelas, ia
merasa nama tersebut pantas untuk diberikan kepada saya. Hahaha. Padahal yang
saya lakukan hanya aktivitas standar yang biasa dilakukan ketika kuliah di
Bandung dulu, seperti membalas chat jika ada yang bertanya di grup, proaktif
untuk berkenalan dan berinteraksi dengan teman sekelas, serta menyapa dan
tersenyum ketika berpapasan. Tapi nampaknya basic courtesy ini tidak
sesering itu diterapkan oleh teman-teman sekelas lainnya.
Ketika
saya kembali ke Taiwan untuk belajar bahasa Mandarin, dari awal pertemuan saya
sudah menggunakan nama Chinese saya. Biasanya kalau belum punya nama Mandarin
sang guru akan dengan senang hati memberikannya. Ketika dipanggil Léi Fēng, awal-awal saya pernah merasa tidak ngeh ketika disebutkan
namanya. Kalau dari kecil biasa dipanggil Adit, Ade, atau Parama, sekarang
dipanggil dengan nama yang tidak biasa didengar. Rasanya cukup aneh, satu sisi
merasa bahwa ini merupakan identitas saya yang baru, tapi di sisi lain merasa
bahwa nama ini belum menjadi bagian dari diri. Tapi setelah satu pekan berlalu
dan dua minggu terlewatkan akhirnya saya lebih menerima nama Mandarin yang
baru. Tapi mungkin ini baru dalam lingkup kelas. Kalau di jalan tiba-tiba ada
yang memangil Léi Fēng, belum tentu saya akan menyahut.
Perubahan
nama ini pernah saya alami sebelumnya. Dari kecil panggilan saya Adit. Ketika
kelas 2 SMA, kebetulan di kelas 2 IPA 6 ada 3 orang Adit dan 1 orang Radit: saya,
Aditya Pradita S., M. Aditya Affandi, dan M. Raditya Dinarna. Jadi kalau ada
yang memanggil ‘Dit’, akan ada 4 orang yang menengok. Maka teman-teman sekelas
memanggil kami dengan nama tengah: Parama, Pradita, dan Affandi. Hanya Raditya
yang tetap dipanggil Didit. Hanya saja walaupun dipanggil dengan nama yang
berbeda, ‘Parama’ tetap bagian dari nama saya sehingga tidak ada kendala dan
saya dapat langsung menerimanya.
Jika
teman-teman bekerja atau kuliah di Taiwan biasanya akan mendapatkan nama Chinese.
Hal yang saya rasakan di awal ketika mulai dipanggil dengan nama yang baru
cukup unik, tapi lama-kelamaan bisa menerima dan menyesuaikan. Seperti kata
pepatah: bisa karena terbiasa.
Komentar
Posting Komentar