Komunitas muslim di daerah yang berbeda bisa jadi memiliki cara penyelenggaraan ibadah shalat jumat yang berbeda. Misalnya ada sebagian daerah yang adzan dua kali dan sebagian lainnya hanya satu kali. Budaya dan kebiasaan juga memengaruhi rangkaian kegiatannya. Ada masjid yang memiliki budaya memukul bedug sebelum memulai, ada yang imamnya mengetuk-ngetukkan tongkat ketika akan ceramah, ada juga yang membagikan makanan gratis setelah selesai shalat. Pada negara lain pun ada hal unik dalam rangkaian ibadah hari Jumat ini berdasarkan pengamatan saya.
Tempat
pertama yang saya rasakan ibadah sholat jumatnya di luar Indonesia adalah di Jepang,
tepatnya di Kota Kumamoto, ketika mengikuti sebuah summer program di
Kumamoto University. Kebetulan tepat di sebelah area kampus ini ada sebuah
masjid. Penanggung jawab penyelenggaraan sholat jumat digilir setiap pekan dari
beberapa kelompok yang anggotanya cukup banyak di Kumamoto. Kalau tidak salah
ada komunitas muslim Indonesia, Afrika, dan Timur Tengah. Misalnya pekan ini
jatuh giliran untuk komunitas muslim Indonesia, maka mahasiswa muslim Indonesia
dan warga muslim Indonesia di Kumamoto yang jadi panitianya dan mengurusi mulai
dari menggelar tikar, menumpulkan donasi, hingga menunjuk imam dan khatib. Karena
banyak komunitas muslim yang sholat di sana, khutbahnya pun dalam bahasa internasional
agar dapat dipahami oleh seluruh jamaah. Bukan dengan bahasa lokal (Jepang),
atau bahkan bahasa grup yang sedang menjadi panitia penyelenggara. Menurut saya
pribadi cara ini paling ideal bagi masjid dengan jamaah internasional.
Selepas Shalat Jumat di Kumamoto Islamic Center |
Berbeda
cerita ketika saya berkesempatan shalat Jumat di Phnom Penh, Kamboja, ketika
ada kegiatan kerelawanan di sana. Di masjid agung kota ini, ceramah jumat
menggunakan bahasa setempat, bahasa kamboja. Otomatis saya tidak paham
ceramahnya. Padahal saya lihat banyak jamaah masjid yang sepertinya bukan orang
lokal, banyak yang berwajah arab. Asumsi saya mereka bukan orang asli Kamboja
karena setelah selesai sholat mereka terdengar berbincang-bincang dalam bahasa
Arab.
Begitupun
ketika shalat Jumat di sebuah masjid di Ho Chi Minh city, Vietnam. Cerahmahnya
menggunakan bahasa Vietnam. Saya kagum karena sang khotib, yang berwajah arab
dengan janggut panjangnya dan setelah khas imam masjidil haram, memberikan khutbah
dengan bahasa lokal yang fasih. Mungkin beliau sudah lama tinggal di sini, atau
bahkan memang dari lahir di sini. Kalau di sini memang wajar karena mayoritas
jamaahnya warga sekitar. Saya sempat melihat ada orang Indonesia di shaf depan.
Beliau menggunakan batik lengan panjang dan peci bludru hitam. Tipikal outfit
khas Indonesia. Tapi sayangnya saya tidak sempat menyapa karena beliau buru-buru
meninggalkan masjid setelah selesai salam.
Ketika
kuliah di Hong Kong, saya sempat merasakan shalat Jumat di beberapa tempat.
Pertama adalah Kowloon Mosque, masjid terbesar di Hong Kong yang dapat
menampung hingga 3.000 jamaah. Masjid putih yang terletak di jantungnya Hong
Kong ini menyelenggarakan shalat Jumat dengan khutbah dua bahasa. Khutbah
pertama disampaikan dalam bahasa Urdu. Ustadznya berasal dari Pakistan. Kebetulan komunitas muslim
di Hong Kong mayoritas berasal dari Asia Selatan. Ceramah kedua disampaikan
dalam bahasa Inggris.
Kedua, pengalaman
jumatan di masjid Ammar and Osman Ramju Sadick Islamic Centre yang terletak di Hong
Kong Island. Masjid yang kantinnya terkenal dengan dim sum halalnya yang enak
dan terjangkau ini mengadakn ceramah dengan bahasa kanton. Hong Kong memang
memiliki dua bahasa resmi: Kanton dan Inggris.
Ketiga
adalah Jumuah Prayer insidental yang diadakan di City University of Hong
Kong (CityU). Pada kampus yang berjarak 10 menit jalan kaki dari kampus saya
ini memiliki komunitas muslim yang cukup banyak, jadi bisa mengadakan shalat
jumat sendiri. Setiap shalat Jumat jamaahnya bisa sampai 10 orang, termasuk
mahasiswa dari kampus lain dan muslim yang tinggal dekat kampus ini. Biasanya
mereka meminjam sebuah ruangan untuk dijadikan tempat shalat. Saya beberapa
kali membantu panita menggeser bangku dan meja di ruangan untuk mendapatkan
tempat yang luas untuk shalat berjamaah. Imam dan khatibnya bergantian dari
mahasiswa CityU. Karena mahasiwa internasional, ceramahnya pun disampaikan
dalam bahasa Inggris. Karena khatibnya mahasiswa, para jamaah pun lumrah kalau
beliau baca teks terus menerus dan agak terbata-bata dalam penyampaiannya. Pernah
suatu kali imamnya salah satu mahasiswa yang sedang mengambil S2. Beliau hanya
menggunakan kaos dan celana jeans saja. Waduh, ini kan shalat Jumat yang
disunnahkan menggunakan pakaian terbaiknya. Ketika imam di Masjid Kowloon memakai
gamis dan jubah lengkap serta imam di Masjid Ammar & Osman Ramju Sadick
mengenakan set jas lengkap, sang imam di CityU hanya memakai setelah main. Tapi
ya setidaknya kemeja lah, jangan hanya kaosan saja. Hal yang saya suka jika
shalat Jumat di CityU adalah rasa kekeluargaannya. Mulai dari ketika menyiapkan
tempat shalat dan menggelar karpet, buru-buru membereskan karena ruangan akan
segera dipakai kelas lagi, hingga diajak untuk makan bersama di kantin CityU,
memberikan kesan bahwa kita berkeluarga dalam ikatan ukhuwah islamiah.
Ada
sedikit bumbu konflik pada penyelenggaraan shalat Jumat yang saya dengar di Taipei
Grand Mosque (TGM), Taiwan. Masjid agung yang terletak di seberang Da’an Park
ini biasa menyelenggarakan Jumatan dengan khutbah bahasa Mandarin. Tidak
ada masalah dengan ini karena memang bahasa nasional Republic of China
adalah bahasa Mandarin. Namun katanya pernah ada permintaan dari oknum komunitas
Indonesia agar Jumatan juga dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Memang warga
Indonesia yang kuliah atau bekerja di pulau ini cukup banyak. Alasan permintaan
tersebut katanya karena khutbah termasuk dalam rukun shalat Jumat yang
menggantikan dua rakaat shalat dzuhur. Jadi seharusnya khutbah dipahami oleh
jamaah. Kalau khutbah disampaikan dalam bahasa yang tidak dipahami, menurut mereka
shalat Jumatnya tidak sah.
Yaah,
ketika diceritakan hal tersebut saya menghela nafas panjang dan sedikit emosi. Kita
sedang di negara orang, ikuti budaya dan aturan yang berlaku di sana. Seperti
peribahasa, masuk kandang kambing mengembik masuk kandang kerbau menguak. Kita
yang harus menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungan tempat kita berada. Jika
memang kita sedang bekerja di negara lain, yang kebetulan bahasa utamanya bukan
bahasa Inggris, seharusnya kewajiban kita untuk belajar bahasa lokalnya. Bukan
malah memaksakan orang sana untuk dapat mengerti bahasa Indonesia.
Kalau mereka
berargumen bahwa jumlah muslim di Taipei cukup bayak, tetap tidak dapat
diterima untuk menjustifikasi bahwa khutbah di TGM perlu dalam bahasa Indonesia
juga. Katakanlah dari jamaah yang rutin shalat Jumat, proporsi yang berasal
dari Indonesia ada 40%. Masih ada 60% lainnya yang bisa jadi tidak paham bahasa
Indonesia. Atau bahkan jika kasusnya ekstrem dan persentase warga Indonesia 60%
dari total jamaah. Tetap saja ada 40% yang tidak mengerti jika ceramah
berbahasa lokal. Malahan kalau memaksakan kehendak tidak sesuai nilai-nilai
agama islam. Untungnya ada warga Indonesia lainnya yang memberikan pengertian
kepada oknum yang meminta ceramah bahasa Indonesia tersebut. Atau solusi
lainnya apabila mereka tetap ingin ceramah dalam bahasa Indonesia dapat membuat
Jumatan sediri. Mereka bisa mencari tempat sendiri serta mengumpulkan jamaah
sendiri agar mencapai minimal 40 orang. Dengan begitu tidak ada yang dirugikan
dan menghindari konflik.
Kebetulan Ketemu Hamid, Teman Seangkatan, di TGM |
Perbedaan-perbedaan
yang saya temui dalam penyelenggaraan shalat Jumat di beberapa negara di Asia
ini cukup unik. Beberapa memiliki hal baik yang patut di contoh di Indonesia,
seperti bergiliran menjadi panitia penyelenggara agar lebih banyak pihak yang
terlibat dan merasakan pengalamannya. Namun jika ada potensi konflik sebaiknya
dihindari dengan menyesuaikan diri dengan negara atau tempat bernaung sekarang.
Komentar
Posting Komentar