Umaru Doma adalah seorang siswi SMA yang “sempurna”. Ia pintar, seluruh nilai ujiannya 100, atletis, selalu juara ketika olahraga, jago bermain musik, perangainya baik, tata bahasanya juga indah. Umaru dibilang orang-orang sebagai tipe adik peremuan (imouto) yang ideal. Tapi tanpa diketahui banyak orang, Umaru menjadi sosok yang sangat berbeda ketika sudah pulang ke rumah. Ia bertransformasi menjadi sosok yang absurd; pemalas, tak kenal tata krama, senang ngemil junk food, mengabiskan waktu dengan main game, membaca manga, dan menonton anime. Hanya sang kakak laki-laki yang tahu karakter rumah Umaru yang 180% berbeda dengan yang Umaru tunjukkan ketika keluar rumah.
Cerita tentang Umaro Doma yang berwajah ganda merupakan
plot dari manga komedi Himouto! Umaru-Chan. Walaupun kisah ini
fiksi, tapi konsep berwajah ganda ini juga terjadi di dunia nyata. Di banyak
kebudayaan, istilah face (wajah) memiliki arti yang mendalam, tidak
hanya wajah fisik yang terlihat namun lebih jauh berkaitan dengan honor, morality,
dan authority dari masing-masing orang.
Dalam konteks kebudayaan Tiongkok, konsep wajah ini memiliki
konteks yang beragam. Dalam ajaran konfusianisme, manusia digambarkan memiliki
minimal dua jenis wajah: social face and moral face (Cheng, 1986). "Social face" diperoleh berdasarkan status
yang didapatkan orang tersebut dari pencapaian, prestasi, bakat, dan
kemampuannya. “Moral face” merujuk kepada karakter
dan kepribadian dasar seseorang (Hwang, 2006). Ajaran konfusianisme yang
menyebar membuat Korea dan Jepang memiliki konsep yang mirip. Di korea ada
istilah “chemyeon” yang mengaju kepada social face. Negara Jepang
kenal dengan “honne” yang berarti perasaan dan keinginan terdalam
seseorang, serta “tatemae” yang merujuk kepada diri yang ditunjukkan kepada
publik. Seringkali honne hanya diketahui oleh orang-orang terdekatnya
saja.
Konsep wajah ganda ini
dapat diaplikasikan juga dalam konteks marketing. Dalam kebudayaan Chinese,
social face (mianzi) merepresentasikan reputasi yang diperoleh dalam
hidup seseorang. Para konsumen China berusaha untuk meningkatkan atau mempertahankan
reputasi (mianzi) mereka di hadapan teman dan lingkungan sosial mereka.
Salah satu cara yang dipilih untuk menampilkan mianzi yang baik adalah
dengan membeli produk dari brand tertentu. Beberapa merk produk
dipresepsikan lebih disukai oleh konsumen karena memiliki kapasitas yang lebih
besar untuk meningkatkan honor dan dignity pada mianzi.
Mianzi juga memiliki sisi emosional. Konsumen merasa
bangga, istimewa, terhormat, bahkan memiliki value lebih sebagai
individu jika mereka mampu membeli merek yang dapat meningkatkan mianzi mereka
(Raffaele, et al (2018). Oleh karena itu, beberapa produk dan jasa, terutama
yang dapat terlihat secara langsung (misalnya smartphone, mobil, tas, dan
sepatu), dipilih karena menumbuhkan rasa bangga dan bungah pada pemiliknya
(Raffaelle & Zhibin (2017); Raffaelle, et al (2017). Merk yang disukai karena
dipresepsikan menaikkan mianzi seseorang disebut oleh para peneliti
sebagai ‘brand mianzi’ (Raffaelle & Zhibin (2017). Beberapa
penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa merek mianzi mempengaruhi niat
beli konsumen dan ekuitas merek (Raffaelle & Zhibin (2017); Raffaelle, et
al (2017). Singkatnya, mianzi adalah konsep budaya yang berhubungan
dengan dimensi sosial, emosional dan psikologis konsumsi dan berdampak pada
persepsi konsumen tentang diri mereka dan keputusan pembelian.
Di Indonesia, konsep “wajah” ini juga masih cukup relevan.
Oleh karena itu dalam melakukan pemasaran, brands juga perlu
mempertimbangkan apakah produk atau jasa yang mereka tawarkan dapat meningkatkan
presepsi pembeli terhadap kepercayaan diri dan citra yang ditunjukkan kepada
orang lain.
Dari Umaru-chan yang punya sifat yang berbeda antara
yang ditunjukkan di luar dan sifat aslinya di rumah, kita dapat mendapatkan inspirasi
konsep branding yang dapat dipresepsikan meningkatkan wajah yang
ditunjukkan konsumen di lingkungan sosialnya.
Daftar Pustaka
1.
Cheng C. Y.
(1986). The concept of face and its confucian roots. Journal of Chinese
Philosophy, 13, pp. 329–348, doi:
10.1111/j.1540-6253.1986.tb00102.x
2.
Fllieri, Raffalle; Lin, Zhibin; d’Antone, Simona; Chatzopoulou, Elena.
(2019). A cultural approach to brand equity: The role of brand mianzi and brand
popularity in China. Journal of Brand Management, 26(4), pp. 376-294,
doi: 10.1057/s41262-018-0137-x
3.
Filieri, Raffaele; Lin, Zhibin. (2017). The role of
aesthetic, cultural, utilitarian and branding factors in young Chinese
consumers' repurchase intention of smartphone brands. Computers
in Human Behavior, 67, pp. 139–150, doi:10.1016/j.chb.2016.09.057.
4.
Fllieri, Raffalle; Chen, Wenshin; Lal Dey, Bidit. (2017). The importance
of enhancing, maintaining, and saving face in smartphone repurchase intentions
of Chinese early adopters. Information Technology & People, 30(3),
pp. 629-652, doi: 10.1108/ITP-09-2015-0230.
5.
Hwang K. K. (2006). Moral face and social face: contingent
self-esteem in Confucian society. International Journal of Psychology, 41,
pp. 276–281, doi: 10.1080/00207590544000040.
Komentar
Posting Komentar