Sebelumnya saya telah bercerita
mengenai program kuliah fast track di ITB. Pada artikel tersebut tertulis bahwa
akhirnya saya memutuskan untuk tidak meneruskan fast track S2 di ITB. Tulisan
ini akan lebih bercerita mengenai apa yang saya rasakan ketika menjalani fast
track di jurusan Teknik dan Manajemen Industri ITB, walau tidak
selesai.
1. Tak Terlalu Dekat dengan Teman
S2
Mulai dari semester 7, peminat fast
track sudah harus mengambil dua mata kuliah wajib S2. Kelas yang kami ikuti
digabung dengan mahasiswa S2 jalur biasa yang baru masuk. Karena jumlah mahasiswa
satu angkatan S2 cukup banyak, jadi kelas wajib ini pun dibagi menjadi dua
kelas paralel. Jika mahasiswa S2 reguler dibagi kelasnya berdasarkan NIM (ganjil-genap
atau awal-akhir), mahasiswa fast track dibebaskan memilih kelas yang
jadwalnya cocok.
Walaupun masuk ke kelas S2, tapi
saya tidak begitu kenal dengan teman-teman S2. Salah satu alasannya karena beda
kesibukan. Di saat mahasiswa S2 reguler hanya mengambil 12 SKS, kami yang fast
track mengambil 22 atau bahkan 24 SKS. Apalagi ketika semester 7 ada beberapa
mata kuliah yang mengharuskan kerja
kelompok secara intens dengan teman-teman S1, seperti PPST (Praktikum
Perancangan Sistem Terintegrasi), PMR (Praktikum Manajemen Rekayasa), serta PRI
(Proyek Rekayasa Interdisiplin) yang menuntut bekerja sama dengan jurusan-jurusan
lain di FTI (Fakultas Teknologi Industri). Oleh karena itu saya dan teman-teman
fast track lainnya jarang bisa ikut berkumpul atau belajar bersama
dengan teman-teman S2. Karena belum terlalu dekat, saya sempat khawatir apabila
nanti sudah bergabung menjadi mahasiswa S2 setelah lulus S1, apakah dapat berinteraksi
dan akrab dengan teman-teman S2 ini.
2. Mencicil Mata Kuliah S2 sejak S1
Mata kuliah wajib yang perlu diambil
mahasiswa fast track dari daftar mata kuliah Magister Teknik dan
Manajemen Industri adalah Statistika Multivariat dan Metode Optimasi. Konten
kuliah Statistika Multivariat mirip seperti gabungan mata kuliah Statistika I
dan Statistika II di jenjang S1. Pada mata kuliah ini kami juga membelajari
beberapa teknik analisis statistika lanjutan seperti analisis klaster,
diskriminan, konjoin, hingga MDS (Multi-Dimensional Scalling). Metode
analisis statistika tersebut sudah dipelajari di mata kuliah Riset Pasar yang
didapat di semester 5 pada kurikulum S1 Manajemen Rekayasa (MR).
Jika Statistika Multivariat
merupakan gabungan dari beberapa mata kuliah Statistika di S1, mata kuliah
Metode Optimasi merupakan gabungan dari Operation Research (OR) I dan OR
II. Atau di kurikulum S1 MR nama mata kuliahnya adalah Metode Kuantiatif I dan
Metode Kuantatif II. Apalagi yang mengajar Pak Suprayogi, sama dengan dosen yang
mengajar saya sebelumnya. Mengikuti kelas ini, saya jadi merasa diingatkan
kembali mengenai teknik-teknik untuk optimisasi serta di-refresh materinya.
Dengan mempelajari dua kuliah wajib S2 ini kepercayaan diri saya naik untuk
dapat menyelesaikan S2 nantinya dalam waktu 1 tahun saja.
Pada semester 8, mahasiswa fast
track perlu mengambil 2 mata kuliah pilihan. Mulai dari sini grup
teman-teman fast track angkatan saya mulai terpencar karena mengambil
mata kuliah yang berbeda-beda sesuai ketertarikan dan rencana topik penelitian nantinya.
Saya memilih mata kuliah Perancangan Jasa, karena tertarik untuk mengembangkan
bisnis di bidang jasa, dan Berpikir Visioner, karena judulnya menarik. Mata
kuliah pilihan S2 bisa diambil oleh mahasiswa S1 juga. Cukup banyak teman
angkatan dan adik kelas yang mengambil mata kuliah pilihan S2 sebagai mata
kuliah pilihan dalam prodi (dengan kode TI).
Salah satu hal yang membuat
kegalauan saya untuk melanjutkan program fast track adalah karena pernah
ada satu pertemuan kuliah S2 yang diajar oleh asisten lab (S1). Asisten
tersebut hanya menggantikan dosen untuk menyampaikan materi. Hmm . . . kok mata
kuliah S2 malah yang masuk mahasiswa S1 ya. Bagi saya, karena yang kebetulan
waktu itu masuk kelas adalah dua orang teman seangkatan, tidak masalah. Tapi
bayangkan mahasiswa S2 yang mungkin berpikiran lain. “Kok yang mengajar kelas ini
di S2 bisa mahasiswa yang bahkan belum lulus S1?”.
3. Bingung Menentukan Penelitian TA
& Thesis
Semester 8 biasanya mahasiswa S1
sudah lebih fokus mengerjakan Tugas Akhir (TA). Beban penelitiannya cukup berat
baik untuk tubuh maupun mental. Mahasiswa fast track sangat dianjurkan agar
memilih topik penelitian S1 yang bisa langsung dilanjutkan untuk penelitian S2.
Ketika teman-teman yang lain setelah selesai sidang TA bisa lega, hore-hore,
dan menanti wisuda, mahasiswa fast track masih perlu bimbingan untuk
menulis thesis. Jadi tidak ada jeda untuk rehat setelah selesai sidang TA.
Gara-gara memikirkan topik TA
agar bisa lanjut Thesis, saya jadi cemas terhadap masa depan dan tidak fokus
terhadap penelitian TA yang sedang dikerjakan. Bahasa lainnya saya tidak mindfull
atas apa yang dikerjakan dan terjadi saat ini.
4. Semester 8 yang Tak Bebas
Selain kegalauan atas topik TA
ketika menjalani fast track di semester 8 juga saya sempat galau melihat
teman-teman angkatan yang lain. Mereka yang tidak ikut fast track dan
hanya tinggal mengambil TA saja biasanya punya waktu yang lebih luang. Sebagian
teman ada yang mendaftar magang untuk mencari pengalaman kerja. Sebagian yang
lainnya mengambil pilihan student exchange ke luar untuk memperkaya international
exposure. Sedangkan saya yang masih harus mengambil kuliah tidak bisa ikut
kegiatan-kegiatan lain. Belum lagi sekarang dengan adanya program MBKM (Merdeka
Belajar Kampus Merdeka) banyak program menarik yang ditawarkan bagi mahasiswa
untuk belajar di luar bangku kelas, mulai dari pengabdian masyarakat, kewirasusahaan,
magang, pertukaran pelajar, hingga proyek pribadi. Jika mendaftar sebagai
mahasiswa fast track, hampir pasti ketika semester 7 dan 8 kita tidak
dapat bergabung dan mengikuti keseruan program MBKM.
Dengan beberapa kegalauan untuk
lanjut atau tidaknya fast track yang terpupuk pada semester 7 dan 8,
akhirnya gongnya berbunyi ketika saya mendapatkan kerja sebelum wisuda. Saya
memutuskan untuk mengambil tawarn kerja sebagai Human Resource Officer di Total
Balikpapan dan meninggalkan jalur fast track yang sudah setengah jalan.
Dan alhamdulillah sampai sekarang saya tidak menyesali keputusan ini. Malahan berani
untuk mengambil pilihan untuk kerja di Kalimantan ini merupakan salah satu
pilihan terbaik yang saya syukuri.
Ada banyak pertimbangan jika
mahasiswa S1 ingin mendaftar ke dalam program fast track. Program ini
menarik dan baik juga, asal disesuaikan dengan kebutuhan dan rencana dari
masing-masing mahasiswa. Pengalaman yang saya tuliskan hanya berlaku pada diri
saya dan belum tentu bisa relate dengan semua orang. Di angkatan saya ada
5 orang yang berhasil menyelesaikan program ini, ada Rizqa, Vincen, Dhira, Aul,
dan Indra. Jadi ada orang yang cocok dengan fast track dan sebagian
lainnya kurang cocok dengan program ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan insight
tambahan bagi teman-teman sebelum mendaftar program fast track di
ITB.
Komentar
Posting Komentar