Sekuel biasanya di-relase mengikuti tamatnya sebuah prekuel. Dalam anime banyak seri sudah tamat dan dibuat seri lanjutannya, entah versi tokoh utama yang lebih dewasa atau anak sang tokoh utama yang memulai cerita baru. Terutama pada genre shounen yang target pasarnya remaja, seri sekuel diterbitkan untuk tetap menggaet segmen ini walau sudah tumbuh dewasa dengan mengangkat konsep ‘petualangan tidak pernah berakhir’. Misalnya seri Dragonball yang sudah tamat lalu dilanjutkan dengan cerita anak-anaknya Goku dan Vegeta. Konsepnya masih sama dan cerita perkelahiannya tetap seru, tapi tongkat estafetnya sudah dioper ke generasi baru. Pada cerita Boruto: Naruto Next Generations, seperti judulnya cerita berfokus pada Boruto, yang merupakan putra dari Naruto yang sudah menggapai mimpinya untuk menjadi pemimpin desa, yang melanjutkan petulangan sang ayah bersama teman-teman satu generasinya.
Bagi saya, ada salah satu sequel
yang memberikan kesan mendalam, bahkan membuat melankolis. Sekuel tersebut
adalah Avatar: The Legend of Korra, yang merupakan kelanjutan dari Avatar:
The Last Airbender. Tidak seperti sekuel Dragonball, dimana Goku masih
hidup (atau kalaupun sudah mati dapat dibangkitkan kembali), atau pada Boruto
yang menggambarkan Naruto sebagai sosok ayah yang sibuk dengan pekerjaannya
sebagai Hokage, pada Avatar Universe menggunakan konsep
reinkarnasi. Avatar baru muncul ketika avatar sebelumnya telah wafat. Artinya
dalam sekuel diceritakan Aang telah berpulang dan peran avatar digantikan oleh
Korra.
Ketika menonton Avatar: The Last
Airbender, para fans dihibur dengan tingkah Aang yang lucu, kekanak-kanakan,
juga ceroboh. Walau akhirnya Aang dapat menaklukkan raja api dan menyelamatkan
dunia tapi kita masih melihat sisi anak-anak atau remaja dari Aang. Bayangkan
jika yang terakhir kali kita lihat masih kecil, tiba-tiba diceritakan sudah melewati
masa dewasa, tua, bahkan sudah meninggal. Serta-merta membuat saya jadi merasa
tua. “Rasanya kemarin ketika saya menonton Aang masih sama-sama anak-anak. Ketika
sekarang menonton Korra kenapa Aang jadi sudah mati?”. Momen kematian Aang yang
tidak diceritakan juga semakin menambah rasa penasaran. Selain Aang ada juga tokoh
yang masih hidup, tapi sudah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek, seperti sang guru
waterbender Katara, dan raja api Zuko. Melihat mereka tidak membuat hati
ini menjadi senang, malah makin sayu membayangkan tokoh-tokoh yang menemani
masa kecil kita sekarang sudah tua renta.
Terketuk dengan rasa sedih tadi,
saya jadi menyadari beberapa hal ketika melihat tokoh-tokoh kesukaan di seri Avatar:
The Last Airbender menjadi sudah tua atau bahkan meninggal. Pertama, saya
menyadari bahwa manusia pasti akan menua. Tokoh kartun saja bisa bertambah usia,
apalagi manusia di dunia nyata. Pertanyaannya adalah apa yang sudah dilakukan
untuk mengisi usia yang terlewati? Apakah melakukan hal yang sia-sia atau
mengisinya dengan hal yang bermanfaat. Jangan sampai kita menyesali masa muda
yang terlewatkan karena tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.
Banyak artikel yang membahas penyesalan yang dialami manusia pada masa tuanya,
seperti tidak berani mengambil risiko, tidak menghabiskan waktu bersama dengan
keluarga, hingga tidak berinvestasi. Intinya waktu terus berjalan dan usia
terus bertambah. Jadi kita perlu melakukan yang terbaik dan mengisi masa muda
dengan hal-hal yang tidak akan kita sesali pada usia senja.
Kedua, saya merenungkan mau
dikenal sebagai apa ketika saya sudah tiada. Pada film Avatar: The Legend of
Korra, beberapa kali Aang muncul dalam flashback. Selain
kontribusinya mengembalikan kedamain dunia setelah 100 tahun, ia juga dikenal
dengan banyak prestasi, misalnya mendirikan Republic City, yang merupakan kota
terbesar dan paling modern. Ketika kita sudah meninggal nanti, apa kontribusi untuk
dunia yang membuat kita dikenang? Tentunya kita ingin dikenang dengan
pencapaian yang positif. Sean Covey dalam bukunya 7 Habits for Highly
Effective People menungkapkan teknik kebiasannya adalah Begin with the
End in Mind, untuk memulai sesuatu dengan membayangkan mau seperti apa
tujuan atau goal akhirnya. Ia bahkan menyarankan kita untuk membayangkan
seperti apa pidato yang akan disampaikan orang-orang terdekat pada pemakaman
kita. Jika di ujung hidup kita ingin dikenang menjadi ayah yang penyayang
misalnya, kita bisa memperbaiki diri untuk menjadi ayah yang dekat dengan anak
dan menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga. Jadi dari sekarang kita
dapat mulai membayangkan warisan apa yang akan kita tinggalkan kepada dunia
setelah kita wafat nanti.
Ketiga, saya diingatkan kembali bahwa
kematian datang dengan mendadak. Tidak ada orang yang tahu kapan tiba ajalnya.
Bahkan orang yang berlindung di dalam benteng paling kokoh sekalipun tidak akan
dapat menghindar dari malaikat maut. Oleh karena itu kita perlu mempersiapkan
kematian seolah-olah akan datang besok. Dalam sebuah hadist Rasullullah
pernah bersabda bahwa orang yang cerdas adalah orang yang banyak mengingat
kematian dan mempersiapkan untuk menghadapai.
Dari menonton sebuah sekuel seri
saja ternyata tidak hanya poin hiburan yang kita dapat. Jika kita dapat melihat
lebih dalam, akan ada hal filosofis yang dapat kita pelajari agar dapat
meningkatkan diri supaya lebih baik lagi.
Komentar
Posting Komentar