Membiasakan yang betul dan membetulkan yang biasa - Lusy Luksita -
Cara termudah untuk belajar menjadi Master of Ceremony (MC) atau pembawa
acara pemula adalah dengan meniru cara bicara MC-MC profesional yang sudah
memiliki jam terbang tinggi. Kita dapat meniru gaya bicara, kata-kata indah,
pakaian dan riasan, serta bahasa tubuh para MC yang sudah lebih dulu bergelut
di dunia pembawaan acara untuk diadaptasi menjadi gaya sendiri.
Dalam mengamati
cara berbicara dan bahasa, perlu ada catatan khusus terutama dalam pola bahasa.
Bagi MC yang sering tampil sekalipun memungkinkan ditemui kesalahan dalam tata
bahasa dan ejaan bahasa Indonesia. Kesalahan ini cukup fatal karena seringkali
terbiasa di dengar oleh masyarakat, dan akhirnya audiens mengganggap hal
tersebut sebagai yang betul. Padahal sudah seharusnya kita berbicara dengan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Hingga
guru saya di public speaking, Lusy Luksita,
mengajarkan untuk selalu komitmen dalam membiasakan hal yang benar dan kalau
ada orang yang melakukan kesalahan karena terbiasa tidak segan untuk
mengingatkan.
Pemilihan Kata yang Tepat dapat Membuat Acara Lebih Kondusif dan Audiens Lebih Tertarik |
Sebagai pembawa acara, ada 5 kesalatan
berbahasa yang sering dijumpai dan berikut tips untuk menghindari kesalahannya:
1. Kepada yang terhormat, bapak kepala sekolah.
Kepada yang terhormat, bapak walikota. Kepada yang terhormat bapak gubernur
Ketika memberikan sapaan dalam acara formal
atau semi-formal, seringkali terdengar sang pembawa acara mengucapkan kata “terhormat”
beberapa kali. Padahal imbuhan depan ‘ter’ merupakan superlatif yang berarti
paling. Di acara tersebut seharunya hanya satu orang atau satu pihak yang
pantas menyandang gelar terhormat (paling dihormati). Tamu kehormatan lainnya dapat
disapa dengan “yang saya hormat”. Saat menyapa tamu undangan sebaiknya mulai
dari yang jabatan atau yang posisinya paling tinggi. Oleh karena itu bentuk
kalimat sapaan yang tepat pada acara peresmian gedung baru di sekolah seperti
contoh di atas seharusnya: “Kepada yang terhormat, bapak Gubernur; yang saya
hormati, bapak walikota; dan yang saya hormati bapak kepala sekolah.”
2. Waktu dan tempat kami persilakan
Artinya sang MC mempersilakan waktu dan tempat
untuk maju atau berbicara. Padahal yang seharusnya dipanggil adalah orang yang
akan memberikan sambutan atau menyampaikan materil. Jadi kalimat yang benar
adalah “kepadanya kami dipersilakan”, atau bisa juga seperti ini “Selanjutnya
adalah sambutan dari ketua acara, kepada Bapak (nama) kami persilakan”.
3. Menyingkat waktu
Waktu merupakan satuan yang tidak bisa dipercepat
ataupun diperlambat. Semua orang sama-sama memiliki waktu 24 jam dan 1 detik bagi
satu orang sama dengan 1 detik bagi orang lainnya. Maksud dari kalimat di atas adalah untuk membuat acara berjalan lebih cepat dan memotong hal yang tidak
efektif. Jadi kalimat yang tepat adalah “untuk mengefektifkan waktu”.
4. Maju ke atas panggung
Dalam tata bahasa Indonesia, frase ini merupakan
majas pleonasme, artinya menggunakan kata-kata yang maknanya sama sehingga
terkesan tidak efektif. Alternatif kata yang dapat digunakan untuk memanggil
pembicara adalah “hadir ke panggung” atau memberikan keterangan tempatnya
langsung seperti “naik ke podium” atau “naik ke panggung”.
5. Paska acara dan Paskasajana
Ada beberapa kosakata serapan bahasa Indonesia,
yang sering kali kurang tepat pembacaannya. Salah satu kata yang sering salah
baca adalah kata “pasca”, yang berarti setelah, dibaca ‘paska’. Huruf c pada
kata ‘paska’ dibaca sebagai huruf ‘k’. Padahal bahasa Indonesia dibaca sesuai
dengan tulisannya. Apabila tertulis ‘pascasarjana’ maka pembacaannya pun ‘pascasarjana’
dengan menggunakan huruf ‘c’. Sama seperti kata ‘cuci’ yang kita baca sebagai ‘cuci’,
bukan ‘kuki’.
Dalam membawakan acara berbahasa Indonesia,
keterampilan linguistik merupakan salah satu hal yang dapat mendukung
penampilan. Oleh karena itu dengan menghindari 5 kesalahan umum dalam tata bahasa
yang biasa dijumpai, kita dapat menjadi pembawa acara yang kompeten dan
berkualitas baik. Di awal karir sebagai MC, tidak apa-apa salah. Asalkan kita tidak membiasakan salah dan tidak menyegajakan untuk salah.
p
BalasHapusKeliru Koreksi atas Penggunaan Sebutan “Yang Terhormat”
BalasHapusDalam berbagai kesempatan saya mendengar banyak tokoh (pamong desa, dukuh, pengurus RW/RT, atau pembawa acara profesional) memberikan dan menyebarluaskan koreksi atas penggunaan sebutan “yang terhormat” jika dilakukan secara berkali-kali dan masing-masing ditujukan untuk orang yang berbeda. Alasannya adalah karena sebutan “yang terhormat” di situ, menurut para pengoreksinya, mempunyai arti “yang paling dihormati” atau dalam ilmu tata bahasa awalan “ter-“ di situ dipahami sebagai sarana pembentukan arti superlatif (tingkat teratas dalam suatu perbandingan).
Demikianlah, dalam pandangan para pengoreksi tersebut, “terhormat” di situ disamakan kasus pembentukannya dengan “tercantik, terbagus, terpandai, tertolol” dan seterusnya, yakni awalan “ter-“ yang melekat pada kata sifat (adjektiva) sehingga menimbulkan makna ke-superlatif-an (keadaan paling unggul di antara semuanya). Dengan demikian, sebutan “yang terhormat” hanya bisa digunakan untuk satu orang.
Sayangnya, koreksi itu tidaklah didasari oleh pemahaman yang tepat. Memang benar bahwa kata hormat bisa masuk ke dalam dua kelas kata, yakni adjektiva (kata sifat) dan nomina (kata benda). “Hormat“ sebagai kata sifat berarti ‘khidmat, menghargai, takzim, sopan). Adapun “hormat” sebagai kata benda berarti ‘perbuatan yang menandakan rasa khidmat, takzim (seperti menunduk, menyembah)’ (KBBI, 2008: 507). Dengan demikian, tambahan awal “ter—“ pada kata “hormat” (sebagai kata sifat) menimbulkan arti ‘paling khidmat’, ‘paling sopan’, ‘paling menghargai’. Meskipun menurut kaidah berbahasa hal ini bisa terjadi, tetapi dalam praktik, penggunaan yang seperti ini jarang sekali, nyaris tidak pernah, digunakan. Sebagai gambaran, cermatilah kalimat berikut.
“Anak bungsu kami adalah anak yang terhormat kepada kami dibandingkan kakak-kakaknya.”
Kalimat itu dapat dijelaskan lebih lanjut dengan ‘anak bungsu kami adalah yang paling menghargai, paling takzim, paling sopan’ dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Perhatikanlah bahwa “yang terhormat” di sini berbeda artinya dari kelompok kata “yang terhormat” yang biasa digunakan seorang pembicara untuk menyebut orang-orang unggul, penting, dalam mengawali sambutan, ceramah, atau untuk menyebut orang yang dikirimi surat dalam korespondensi (Kepada Yth....).
Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena sebutan “terhormat” dalam pidato protokoler atau surat menyurat itu berbeda kasusnya dengan pembentukan kata “tercantik, terbagus, tertolol” dan seterusnya. Dalam hal pidato atau surat menyurat itu, pembentukan kata “terhormat” berasal dari pelekatan awalan “ter—“ pada kata benda (bukan kata sifat atau adjektiva) “hormat”. Kasus pembentukannya dalam hal ini sama dengan pembentukan “terpukul, tercoret, tertipu, tergoda, tergores” dan seterusnya. Dengan demikian, makna awalan “ter—“ di situ adalah ‘dikenai’ dengan berbagai variannya seperti ‘diliputi (hormat), dikaruniai (hormat), dilimpahi (hormat), ditimpai (pukulan), dikenai (tipu)’ dan seterusnya (Kridalaksana, 1992: 49). Dengan demikian, frasa “yang terhormat” dalam hal ini tidak mengandung arti ‘(orang) yang paling dihormati’, tetapi ‘(orang) yang diberi, dilimpahi hormat’. Tidak ada makna superlatif di sini!
Jadi, menggunakan frasa “yang terhormat” secara berkali-kali untuk menghormati orang-orang yang berbeda sebelum seseorang mengawali pidato atau ceramah bukanlah suatu tindakan berbahasa yang keliru dari segi makna (semantik). Oleh karenanya, hal itu tidak perlu dikoreksi. Kalaupun harus “dikoreksi”, mungkin bisa digunakan alasan lain. Misalnya ialah agar ada variasi penggunaan kata-kata sehingga pidatonya tidak monoton dan membosankan. Begitu. Terima kasih.
--Rh. Widada, penulis, editor buku.
Rujukan
Kridalaksana, Harimurti. 1992. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pusat Bahasa, Depdikbud. 2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.I, Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.