Langsung ke konten utama

Cerita dari Yamdena


Narasi di bawah merupakan studi kasus perihal konservasi lingkungan di kepulauan Tanimbar yang didapatkan dari perkuliahan manajemen stakeholder:

Setelah Oil Boom pada tahun 1970-an, perekonomian nasional Indonesia mulai melirik hutan. Bisa dimaklumi, karena cadangan minyak bumi semakin tipis (diperkirakan akan mencapai ambang batas produksi tidak lebih dari 25 tahun lagi), juga karena harga minyak bumi di pasar internasional juga terus menurun, sementara sektor manufaktur dan sektor industri non-migas lainnya belum bisa diandalkan. Maka, pada dasawarsa 80-an, industri kehutanan menjadi primadona baru untuk ekspor nasional. Pulau-pulau besar yang kaya hutan (Kalimantan, Papu Barat, Sumatera dan Sulawesi) segera menjadi sasaran utama investasi. Tapi, seperti juga minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), hasil hutan juga segera menipis menjelang akhir 80-an. Tetapi, roda pembangunan ekonomi yang rakus sumber daya alam ini harus tetap berlangsung. Maka, pulau-pulau kecil pun menjadi sasaran berikutnya. Kepulauan Maluku tak terkecuali. Dalam waktu singkat, pembalakan hutan besar-besaran terjadi di pulau-pulau Halmaera, Bacan, Obi, Sulu Taliabu, Buru dan Seram. Tahun 1986, giliran kepulauan Aru dan Tanimbar. Salah satu konsesi hutan (HPH, Hak Pengusahaan Hutan) yang paling menghebohkan adalah PT. Alam Nusa Segar (ANS) di pulau Yamdena, pulau utama gugus Tanimbar.



Setelah memperoleh izin operasinya, perusahaan milik taipan konglomerat nomor satu di Indonesia ini, Liem Swie Liong dari Salim Group, segera memulai survei awalnya pada tahun 1988. Namun, kali ini mereka kena batunya. Penduduk asli 18 desa yang masuk dalam wilayah konsesi seluas 64.000 hektar itu menolak dan mengajukan protes. Selain karena mereka memang tidak pernah diajak bicara, juga karena wilayah konsesi itu menjarah sampai ke ladang-ladang, tanah pusaka dan kawasan keramat (sacred ancestral land) mereka. Dengan angkuh, petugas perusahaan dan pemerintah setempat malah melarang mereka masuk ke dalam wilayah konsesi. Bahkan menakut-nakuti mereka dengan menghadirkan petugas militer dan polisi. Mula-mula, penduduk mengajukan protes ‘sopan’: mengadu ke DPRD II Kabupaten Maluku Tenggara dan DPRD I Propinsi Maluku. Seperti biasa, suara rakyat ini sama sekali tidak diacuhkan. Mei 1990, beberapa tetua adat Yamdena kemudian berangkat ke Jakarta dan mengadukan nasib mereka ke DPR-RI. Beberapa tokoh masyarakat Tanimbar di Jakarta segera mengontak media massa. Majalah TEMPO memuat laporan investigasi awal kasus ini dan mulai memancing debat terbuka. Para tetua adat tersebut sekaligus menyerahkan mandat kepada tokoh-tokoh masyarakat Tanimbar agar segera membentuk organisasi pendukung yang bertugas khusus melakukan lobi, kampanye dan aksi-kasi protes, pertanyaan politik, sekaligus pencarian dana. Mei 1990, terbentuklah Ikatan Cendikiawan Tanimbar Indonesia (ICTI) di Jakarta, sebagai juru bicara resmi masyarakat Yamdena.


Jaringan Kerja Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI) dan Indonesian Front for the Defense of Human Right (INFIGHT) segera tanggap. Mereka mengontak para tetua adat dan tokoh masyarakat Tanimbar tersebut. Serangkaian pertemuan marathon berlangsung pada tengah sampai jelang akhir tahun 1990. Akhirnya disepakati untuk mulai menggarap kasus ini mulai dari pusat konfliknya: langsung di Yamdena! Seorang organizer diutus ke Yamdena untuk memulai misi tersebut. Melalui jalur panjang dan rumit dari Manado, Ternate, Ambon dan Tual – setelah gagal menembus pengawalan ketat petugas keamanan di jalur Kupang dan Dili – sang organizer mendarat di Yamdena pada Februari 1991.



Kerja awal segera dimulai: rangkaian pertemuan regular dari kampung ke kampung, hampir tiap malam, sampai pertengahan 1991. Selama hampir tiga bulan tersebut, kegiatan pengorganisasian masih terbatas hanya pada penggalangan kesepakatan-kesepakatan dan penyamaan presepsi tentang masalah atau kasus yang dihadapi. Karena itu, diskusi-diskusi yang berlangsung di rumah-rumah penduduk, di ladang, di pantai, bahkan di atas perahu dan sampan, lebih dipusatkan pada ‘analisis sosial’ konsesi hutan. Ketika para tetua dewan-dewan adat dari 18 desa itu akhirnya sepakat untuk membentuk komite-komite aksi di desa masing-masing, barulah dilakukan satu pelatihan bersama metodologi dasar pengorganisasian bagi para pemuda yang terpilih. Sampai awal tahun 1992, sudah siap sekitar 60 orang organiser lokal yang terlatih dalam metodologi pengorganisasian, terutama teknik-teknik memfasilitasi pertemuan secara partisipatif, penggunaan media kreatif untuk penyebaran informasi secara cepat, penggalangan masa, pemetaan kawasan, pencatatan data dan informasi lapangan, dll. Merekalah yang kemudian secara aktif bekerja membentuk dan menjalanakan komite-komite aksi yang bertanggung jawab lagsung kepada Dewan Adat desa masing-masing. Arus informasi mulai berlangsung secara sistematik antar setiap kampung dan desa serta dari dan ke Jakarta.



  ICTI semakin aktif. Masih difasilitasi oelh SKEPHI dan INFIGHT organisasi yang sebagai besar anggota maupun pengurusnya adalah guru-guru sekolah, karyawan swasta dan bahwakan banyak juga pegawai negeri ini, mulai belajar merancang strategi aksi, merumuskan pernyataan-pernyataan dan siaran-siaran pers, bahkan juga bagaimana membangun jaringan kerja dengan organisasi lain, terutapa dengan ORNOP dan mahasiswa. Forum-forum komunikasi mahasiswa dari berbagai kota (Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta) kemudian ikut membantu memfasilitasi aktivis ICTI memobilisasi gerakan-gerakan massa. Rangkaian protes ke DPR RI, Menteri Kehutanan, juga ke Kantor Pusat ANS, mulai berlangsung tanpa henti. Di tingkat internasional, World Rainforest Movement (WRM) dan Down to Earth (DtE) merupakan dua mitra paling aktif melakukan lobi dan kampanye yang bahwkan sampai berhasil memasukkan kasus Yamdena ke dalam agenda perdebatan politik Parlemen Eropa. Bersama Jaringan Dunia Ketiga atau Third World Network (TWN), keduanya juga aktif memasok banyak data dan informasi untuk keperluan kampanye di Indonesia. Salah satu kampanye yang bergema keras waktu itu adalah lembar-lembar fakta bergambar Don’t Sink Our Island! (Jangan Tenggelamkan Pulau Kami!) yang beredar luas di kalangan anak-anak sekolah di Eropa. Anak-anak itu kemudian menyertakan kesetiakawanan mereka dengan menulis surat protes ke Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Satu kontainer penuh surat anak-anak Eropa dan dari beberapa bagian dunia lainnya itu sempat membuat Menteri Kehutanan kala itu, Hasyrul Harahap, kewalahan dan meminta ICTI tidak mendramatisir persoalan. Kalawarna DtW dari London hampir setiap nomor memuat perkembangan kasus Yamdena, sementara SKEPHI mengorganisir beberapa wartawan Jakarta untuk terus memuat laporan-laporan investigasi dari lapangan.



Semua perkembangan ini membuat pihak perusahaan dan pemerintah memberi reaksi semakin keras. Mereka tetap keras kepala menolak semua protes rakyat Yamdena. Hal ini membuat rakyat Yamdena tidak dapat menahan kesabaran lagi. Pada suatu hari di bulan November 1992, para organizer lokal melakukan mobilisasi orang-orang kamping mengepung (blokade) beberapa kawasan konsesi dimana base camps PT. ANS berapa. Mereka membakar 1 base camp dan merusak beberapa alat berat. Pihak perusahaan segera meminta bantuan aparat keamanan dan bentrok fisik tak terhindarkan. Puluhan penduduk luka-luka dan 42 orang, termasuk 4 orang tetua adat yang juga menjabat sebagai Kepada Desa, ditangkap polisi dan kemudian diangkut dan ditahan di penjara kota Tual, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara, di Kepulauan Sei. Sang organiser kembali diutus ke lapangan untuk melakukan investigasi. Bersama dua orang pengacara sukarela (orang Yamdena juga) dari Semarang dan Jakarta yang ditugaskan oleh ICTI mendampingi organiser lokal di kampung-kampung sejak Desember 1991, dibantu oleh seorang organiser dan fasilitator dari satu NGO lokal di Kepulauan Kei, ‘Tim Empat’ ini berhasil mengumpulkan data kejadian di lapangan. Bahkan, juga berhasil mengontak beberapa pastor dan Wakil Uskup Amboina di Tual untuk meminta dukungan. Uskup Amboina sendiri akhirnya mengeluarkan pernyataan keras dan mengancam akan memberlakukan eks-komunikasi kepada para pejabat pemerintah beragama Katolik di Yamdena maupuan Ambon yang terbukti lebih membela kepentingan perusahaan ketimbang kepentingan rakyat Yamdena. Atas jasa Wakil Uskup di Tual yang melakukan negosiasi dengan polisi dan kejaksanaan, akhirnya 38 orang penduduk yang ditahan dibebaskan menjelang Natal 1992, kecuali 4 Kepada Desa dan 2 pengacara utusan ICTI sebagai jaminan dan untuk keperluan penyidikan. Sang organiser sendiri ikut bersama penduduk yang dibebaskan pulang kampung dan segara melakukan koordinasi kembai untuk menyusun langkah-langkah baru. Rangkaian pertemuan regular mulai berlangsung lagi hampir setiap malam bergiliran dari kampung ke kampung. Kali ini lebih difokuskan pada cara-cara mengantisipasi kemugkinan provokasi karena pada saat itu diperoleh informasi ada 8 orang anggota KOPASSUS khusus didatang dari Jakarta untuk memata-matai kegiatan penduduk.



Keadaan di lapangan semakin panas. Penahanan beberapa orang itu bukannya membuat penduduk jera, malah semakin membakar semangat mereka. Secara kebetulan, 4 pengacara sukarela lainnya utusan ICTi dari Jakarta dan Surabaya mengalami musibah. Pesawat tua Mandala yang membawa mereka jatuh ketika akan mendarat di Bandar Ambon, Januari 1993. Semua penumpang dan awak pesawat meninggal. Jenazah mereka diterbangkan kembali ke Jakarta, tetapi informasi ini segera terdengar juga oleh penduduk di Yamdena dua hari kemudian. Misa duka segera berlangsung di semua kampung dan desa, sementara di Jakarta dilakukan misa khusus. Momentum ini dimanfaatkan oleh pada organiser lokal untuk semakin memperkuat rasa kesetiakawanan mereka dan, dalam sekejap, 4 orang itu segera menjadi martir perjuangan mereka. Mereka berjanji dan bersumpah tidak akan mundur lagi.



Celakanya, reaksi perusahaan dan pemerintah malah semakin menyulut api dalam sekam. Mereka tetap menolak protes dan tuntutan rakyat Yamdena. Alasan yang paling sering mereka ajukan adalah bahwa konsesi tersebut telah menjalani proses kaji kelayakan ekonomis maupun teknis yang dapat dipertanggungjawabkan, bahkan AMDALnya pun dilaksanakan oleh perusahaan konsultan dan Pusat Studi Lingkungan (PSL), Universitas Pattimura telah memenuhi persyaratan ilmiah dan disepakati para pakar. Menghadapi argument ini, ICTI kemudian mencoba meminta bantuan SKEPHI untuk menguhubungi lembang-lembaga penelitian perguruan tinggi. Gagasan pokoknya adalah: bikin AMDAL tandingan! Secara resmi, tidak ada yang bersedia membantu, tetapi secara pribadi ada beberapa orang pakar dan peneliti senior dari Pusat Pengkajian Klimatologi IPB dan Universitas Gajah Mada menyatakan kesediannya. Masalahnya kemudian adalah: dana! Sebagai peneliti professional (semuanya bergelar Ph.D), mereka mengajukan anggaran cukup mahal, karena memang membutuhkan banyak bahan dan peralatan canggih, seperti foto-foto citra satelit, peta-peta geomorfologi, sampel-sampel laboratorium, dll. Total anggaran yang diajukan lebih dari Rp 100 juta! Melalui perundingan yang cukup alot, akhirnya ICTI menyatakan bersedia menyiapkan dana Rp 60 juta saja. Kesepakatan dicapai dengan pada peneliti tersebut (2 pakar tanah dan hutan dari IPB dan 2 pakar biologi lingkungan dan sosial-ekonomi dari Gajah Mada) bersedia ‘dibayar miring’.



ICTI segera mengontak semua orang Yamdena perantauan di seluruh Indonesia dan di luar negeri, terutama di Belanda. Satu tim khusus bahkan melakukan perjalanan dari rumah ke rumah menyusur Pulau Jawa. Misa minggu di seluruh paroki yang banyak orang Yamdena diminta menyisihkan dana kolekte khusus, termasuk anak-anak, berapapun yang mereka sanggup sisihkan. Para organiser lokal di kampung-kampung juga mulai bergerak secara sistematis. Beberapa proyek ekonomi juga mulai dijalankan untuk menghimpun data. Walhasil, pada April 1993, ICTI akhirnya dapat memenuhi kesanggupannya untuk membayar tim pakar peneliti. Tim ini melakukan serangkaian diskusi persiapan dengan ICTI dan SKEPHI di Jakarta, kemudian berangkatkah ke Yamdena dan tiba di bulan Juli 1993. Langkah pertamanya adalah koordinasi dengan Dewan Adat dan dengan para organiser lokal. Tim memberikan latihan tekniks singkat kepada para organiser lokal sebagai tenaga lapangan.



Para organiser lokal kemudian melatih penduduk di desa masing-masing. Cara kerja ini sangat membantu tim mengumpulkan semua data dan sampel yang diperlukan hanya dalam jangka waktu kurang dari 8 minggu. Tim pulang ke Bogor dan Yogya untuk melakukan pengujian laboratorium, analisis dan penulisan laporan akhir. November 1993, laporan selesai dan diserahkan kepada ICTI. Masih difasilitasi oleh SKEPHI, ICTI berhasil mengontak LIPI yang kemudian bersedia menyelenggarakan satu seminar ilmiah khusus untuk mempresentasikan hasil penelitian tersebut langsung oleh tim pakar penelitinya. Seminar berlangsung di Gedung LIPI Jakarta dan dibuka langsung sendiri oleh Ketua LIPI. Selain para akademisi, wartawan dan aktivis NGO, semua pihak ‘lawan’ (unsur pemerintah dan perusahaan) juga diundang. Debat seru berlangsung, diliput oleh media massa, yang akhirnya menyimpulkan bahwa AMDAL resmi PT. ANS sangat tidak memadai dan banyak manipulasi.



Hasil seminar ini disambut dengan aksi protes yang semakin marak pula. Para aktivitas muda ICTI, dibantu oleh aktivitas dari forum-forum komunikasi mahasiswa, memobilisasi massa lebih besar lagi, termasuk para ‘preman Ambon’ di Jakarta, melakukan demonstrasi bahkan sampai ke Kantor Pusat PT. ANS. Ini memaksa direksi Salim Group, diwakili oleh ‘putra mahkota’nya, Anthony Salim, duduk di meja perundingan dengan ICTI. Ini kemajuan lain lagi karena sebelumnya mereka selalu menghindar untuk bertemu langsung dan selalu melempar tanggung jawab ke Menteri Kehutanan. Akhirnya, pendapat umum yang semakin keras memaksa Menteri Kehutanan kala itu, Hasyrul Harahap, terpaksa pula bersedia duduk berunding langsung dengan ICTI. Rangkaian perundingan alot berlangsung lagi yang pada awal tahun 1994, memaksa Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan (SK) resmi mencabut izin HPH PT. ANS, memerintahkan penghentian sementara semua operasi perusahaan yang sedang berlangsung di lapangan, dan menyatakan moratorium hutam Yamdena selama 3 tahun minimal, sampai dicapai kesepakatan baru dengan ICTI dan masyarakat Yamdena.



ICTI dan rakyat Yamdena merayakan ‘kemenangan pertama’ ini bahkan yang pertama dalam sejarah sengketa wilayah dan konsesi hutan di Indonesia sepanjang Order Baru yang dimenangkan oleh rakyat atas kekuasaan mereka sendiri. Selama masa memoratorium, ICTI tetap aktif, termasuk keberhasilan mereka melobi beberapa lembaga internasional untuk menempatkan seorang tetua adat sebagai wakil tetap mereka di International Office of Indigenous People yang berkedudukan di London. Wakil inilah yang kemudian melancarkan lobi dan kampanye internasional semakin gencar, dibantu oleh WRM, DtO dan Kantor Perwakilan SKEPHI Eropa di Amsterdam, yang akhirnya menghasilkan satu ‘Deklarasi Khusus Parlemen Eropa Mengenai Yamdena’ pada bulan Mei 1997. ICTI kemudian juga lebih memfokuskan aktivitasnya pada penyusunan konsep alternatif pengelolaan hutan Yamdena yang berbasis masyarakat setempat. Para organisasi pendukung, terutama SKEPHI, terus membantu mereka. Bahkan Tim Peneliti ‘sewaan’ tadi kini menyatakan bersedia membantu perumusan konsep alternatif tersebut secara ‘prodeo’. Sementar itu, para organiser lokal di Yamdena juga terus melanjutkan kerja lapangan mereka, termasuk mulai menyesuaikan bentuk kegiatan mereka sesuai dengan perkembangan baru tersebut. Pelatihan-pelatihan diadakan lagi, tapi kali ini lebih difokuskan untuk mempersiapkan masyarakat mendukung konsep alternatif yang sedang diperjuangkan melalui ICTI. Karena itu, pelatihan-pelatihan lebih diarahkan pada aspek-aspek teknis budidaya kehutanan (agroforestry), manajemen sumberdaya lokal, pengembangan kelembagaan, pemetaan kawasan, pemantauan status lingkungan dan ekosistem, perancangan program, dll. Semuanya dirancang dalam modul-modul sederhana dan media kerakyatan dan visual yang dibantu khusus oleh NGO lokal, Yayasan Nen Masil di Kei dan Jaringan Baileo Maluku di Ambon. Satu pusat pelatihan lokal mulai dibangun di Desa Baumaki, persis di seberang teluk pelabuhan Saumlaki, ibukota Kecamatan Tanimbar Selatan. Beberapa balai pertemuan dan juga lahan-lahan percobaan (demplot) dibangun di beberapa kampung strategis. Anak-anak muda kemudian dipilih untuk mengikuti beberapa kegiatan magang dan exposure ke daerah lain (Jawa, Sumatera dan NTT). Ini melahirkan beberapa cikap bakal NGO lokal di Yamdena yang semuanya langsung didirikan, dikelola dan dikendalikan sendiri oleh masyarakat setempat.



Ketika masa memoratorium berakhir, tahun 1996, Menteri Kehutanan yang baru, Prof. Dr. Djamaluddin Suryohadikusumo yang lebih mau mendengar dan lebih terbuka, melakukan kunjungan lapangan langsung ke Yamdena. Hasilnya, Departemen Kehutanan menyepakati sebagian besar usulan ICTI: pengelolaan hutan Yamdena akan diteruskan dengan syarat (1) dikelola oleh BUMN, bukan perusahaan swasta; (2) dalam bentuk budidaya kehutanan disepakati HTI (Hutan Tanaman Industri) kayu jati sesuai hasil kajian teknis dan ekosistem Tim Peneliti ICTI, bukan pembalakan hutan; (3) melibatkan masyarakat setempat dalam seluruh proses dan tahap pelaksanaan; dan (4) mengkukuhkan hak-hak ulayat tradisional masyarakat setempat dalam bentuk pembagian pemilikan saham (equity share) sebanyak 2% dari total investasi. Tetapi, sekali lagi, sistem birokrasi sentralistik telah membuat pelaksanaan rencana ini diwarnai banyak manipulasi. Salah satu yang membuat rakyat Yamdena kembali marah dan protes adalah fakta bahwa PT. INHUTANI II – sebagai BUMN yang disepakati menjadi pelaksana proyek, bekerja sama dengan satu perusahaan swasta sebagai sub-kontraktor, PT. Mohtra Agung ternyata hanya bicara dan merekrut orang-orang Yamdena yang bekerja sebagai pegawai negeri di kota Saumlaki, ibukota kecamatan Tanimbar Selatan, sebagai ‘wakil-wakil’ masyarakat adat Yamdena yang dicantumkan namanya sebagai wakil pemegang saham. Dewan-dewan Adat kembali protes, masyakarat menolak dan ICTI, dibantu oleh SKEPHI dan satu NGO lain, Bina Lingkungan Hidup (BLH), akhirnya mengajukan gugatan hukum ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Ambon. Proses peradilan berlangsung sampai awal 1997 dan, seperti sudah dapat diduga sebelumnya, PTUN menolak gugatan tersebut. Tetapi, rakyat Yamdena juga tidak bergeming. Para organiser lokal kembali bergerak memobilisasi gerakan ‘pembangkangan’ dalam bentuk boikot. Ini membuat proyek raksasa itu kembali menjadi macet total atau paling tidak tersendat-sendat. Keadaan status quo ini terus berlangsung sampai akhirnya gelombang reformasi melanda republic ini dengan tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto pada Mei 1998. Semenjak itu, semakin tidak jelas nasib proyek ini, tertelan oleh hiruk pikuk reformasi politik dan ekonomi nasional. Namun, satu hal jelas dan tetap: kerja pengorganisasian masyarakat lokal di Yamdena tidak pernah berhenti sampai sekarang. Bahkan, dalam hal tertentu, semakin intensif dan mulai menemukan bentuk-bentuk kemandiriannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Tebak-Tebakan Seru Beserta Jawabannya

Ketika berkumpul dengan teman-teman, obrolan bisa lebih asyik apabila ditambahkan tebak-tebakan seru. Beberapa orang menyebutnya tebak-tebakan kegoblogan karena seringkali jawabannya tidak logis. Di beberapa perguruan tinggi, seperti ITB, permainan ini popular untuk diajarkan taplok (tata tertib kelompok) atau mentor kelompok kepada mahasiswa baru ketika sesi orientasi kampus. Berikut adalah beberapa tebak-tebakan yang popular beserta jawabannya. 1. Black Magic Sebenarnya tidak hanya Black Magic, namun dapat berupa Blue Magic, Polkadot Magic , dll. Intinya, warna yang ditentukan oleh Game Master (GM). Istilah Game Master maksudnya orang yang memberi tebak-tebakan pada permainan. Biasanya GM akan dibantu oleh seorang asisten. GM akan disuruh menutup mata, kemudian orang lain memilih sebuah barang. Dengan dibantu asisten, GM akan berhasil menebak barang yang dipilih. Lalu GM akan bertanya bagaimana caranya. Jawabannya adalah asisten membantu GM menebak dengan menyeb...

Tips Membuat Cue Card MC yang Keren dengan Mudah, Murah, dan Tahan Lama

Bagi seorang pembaca acara (MC) cue card merupakan salah satu barang yang wajib di bawa untuk melancarkan penampilan. Biasanya sang pembaca acara menuliskan susunan acara, nama dan gelar pembicara, serta hal penting lain mengenai acara yang sedang dipandu. Cue card   (sebagian orang menyebutnya que card ) ini tidak hanya berguna bagi MC, tetapi juga bagi moderator atau public speaker untuk mencatat poin-poin penting yang akan disampaikan ketika berbicara. Ketika tes IELTS, bahkan kita akan diminta membuat cue card sebelum melakukan long speech selama 1 s/d 2 menit di tes speaking part 2. Cue card yang tidak disiapkan dengan baik seringkali akan mengganggu penampilan ketika di atas panggung, bisa karena ukurannya yang terlalu besar atau terlalu kecil, desainnya yang kurang menarik atau alasan lainnya. Pengalaman saya memandu sebuah acara sharing session di sebuah kompetisi keilmuan jurusan Teknik Industri beskala internasional, panitia membuatkan cue card yang seukuran ¾ kali ...

Contoh Teks MC & Naskah Acara Pelepasan Jenazah

Acara pelepasan jenazah merupakan acara penghormatan terakhir bagi seseorang yang berperan penting dalam sebuah organisasi. Acara ini umum ditemui di institusi pendidikan sebagai bentuk apresiasi dan tanda hormat bagi guru besar (profesor). Acara ini merupakan acara formal dengan suasana yang khidmat dan duka. Urutan acaranya biasanya terdiri dari: Kedatangan jenazah Sholat jenazah Pembacaan riwayat hidup Sambutan keluarga almarhum Sambutan dan pelepasan dari pemimpin Ucapan belasungkawa dari tamu Untuk memudahkan MC dalam memandu jalannya upacara pelepasan jenazah ini, berikut adalah script untuk MC. Bagian yang dicetak tebal dan miring tinggal diganti sesuai dengan konteks siapa yang wafat. Silakan disesuaikan dengan kebutuhan acara kawan-kawan. SCRIPT MC ACARA PELEPASAN JENAZAH (Nama lengkap dan gelar) Hari, tanggal 1.        Announcement Jenazah memasuki ruangan acara, hadirin dipersilakan untuk berdiri. Hadirin dipers...